31

867 158 21
                                    

Ditengah ramainya suara para anggota himpunan yang sibuk berdiskusi, Abigail sempat-sempatnya membuka ikon kamera pada laptopnya selagi menunggu setoran laporan dari para kadiv untuk project baru organisasi tersebut. Mengundang hembusan napas jengah dari Rayna yang duduk disampingnya.

"Ngaca mulu anjir. Udahan kek" dengus perempuan berambut sebahu itu. Terlampau kesal melihat Abigail yang entah udah keberapa kalinya dalam seharian ini mengecek penampilannya lewat kamera.

Menanggapinya dengan cengiran, Abigail lalu menutup laman kamera begitu Hafid—kadiv humas, berjalan mendekat untuk menyetor laporan.

Menyadari Hafid adalah kadiv terakhir, perempuan itu mengacungkan tangan. Memberi kode pada sang ketua kalo dirinya udah menerima laporan dari semua divisi.

"Okay, laporan semua divisi clear ya. San, 3 hari cukup kan?" Abigail mengangguk menyanggupi. Sebenarnya sih agak mepet, tapi nggak mungkin juga kan kalo dia bilang enggak cukup? Bisa diomelin 3 hari 3 malam dia sama pak ketu.

"Kalo gitu sekian rapat hari ini. Kita ketemu 3 hari lagi ditempat dan jam yang sama. Terimakasih. Selamat sore"

Kalimat penutup Gerald sontak membuat para anggota menghela napas lega. Meregangkan otot setelah berjam-jam lamanya duduk, ada juga yang sibuk mengemasi barang seperti Abigail dan Rayna. Hendak pulang.

"Loh, langsung pulang kalian?" Kareen menginterupsi pegerakan keduanya, membuat yang lain ikut mengalih atensi ke arah Abigail dan Rayna.

"Hehe iya, kak. Udah ada janji soalnya abis ini" sahut Abigail yang juga diangguki Rayna.

"Janji sama yang kemarin ya, San?" ledek Gladis yang dibalas kekehan ringan sama Abigail. Kebetulan temannya satu itu sempat memergokinya berbonceng dengan Riki dilampu merah dekat kampus beberapa hari lalu.

Usai memakai sepatu kembali, keduanya berpamitan pada beberapa orang yang tersisa didalam lalu menutup rapat pintu ruang himpunan.

Berjalan beriringan menuju lobi, Rayna mendelik jengkel begitu melihat Abigail yang kembali mengaca lewat kamera ponselnya "Gue banting juga lama-lama itu hp kalo lo ngaca terus gini" desis Rayna.

Mengabaikan ucapan sahabatnya, Abigail masih melanjutkan kegiatan mengacanya. Terlalu sibuk disepanjang jalan sampai mengharuskan Rayna mengait lengannya agar perempuan itu nggak menabrak orang-orang yang juga tengah melewati koridor seperti keduanya.

"Tapi serius deh, Ray" Abigail menghentikan langkahnya sejenak "Gue beneran cocok nggak sih rambut warna ini?"

Sebelum menjawab, Rayna menarik Abigail agak ke ujung. Seenaknya berhenti ditengah jalan, emang ini koridor punya neneknya apa.

"Cocoookkk" jawabnya penuh penekan dan panjang. Abis Abigail tanyanya berkali-kali sih, siapa yang nggak kesel coba?

"Emang lo nggak lihat apa tadi mukanya si Gerald pas pertama kali lo dateng?" Rayna bersedekap "Nggak mungkin sampe melongo dan nggak kedip gitu lah kalo nggak cocok"

"Apasih? Kenapa jadi bahas dia coba?" dengus Abigail.

"Ya lagian elo, udah dibilang cocok juga masih tanya terus. Gue kasih hadiah piring cantik nih lama-lama"

Nggak mendapat sahutan, Rayna melirik sahabatnya yang ternyata tengah memandang lurus ke arah taman dengan air wajah masam.

"Riki nggak jadi jemput?"

"Jadi. Udah didepan malah kayaknya"

"Terus kenapa malah berhenti disini? Bukannya disamperin" tanya Rayna yang berakhir dibalas gelengan kecil sama Abigail.

"Disini dulu bentar" Abigail malah mengambil duduk dianakkan tangga yang menghadap taman, membuat Rayna mengernyit bingung namun tetap mengikuti.

"Kenapa lagi sih? Lo masih mikirin omongan tuh bocil nggak jelas tempo hari?"

YOUNG BLOODМесто, где живут истории. Откройте их для себя