Extra chapter II

356 54 0
                                    

Pukul tujuh malam langit sangat gelap, seperti akan turun hujan sebentar lagi. Selesai mandi Taehyung berdiri di dekat jendela, membuka tirai melihat pemandangan luar.

Taehyung belum bergeming, selagi menunggu Jia menyiapkan makan malam ia menghabiskan waktu di depan jendela, banyak hal yang sibuk ia pikirkan terkait bagaimana reaksi Jia dengan keputusannya nanti.

Padahal dia sudah berjanji untuk tidak menjadi pria pengecut, tapi tetap saja kekhawatirannya yang berkepanjangan berujung menjadikannya sebuah ketakutan.

"Tae, makanannya sudah siap," ucap Jia yang membawa keranjang pakaian kotor untuk dipindahkan ke belakang. Jia menyadari sepertinya ucapannya tak menembus rungu suaminya. Pria itu masih terdiam merenung, sesekali terdengar hembusan napas berat darinya.

"Tae?" panggil Jia sekali lagi dengan suara yang sedikit dikeraskan.

Kali ini pria itu menoleh memandang Jia beberapa detik. "Kau tadi bilang apa?"

"Kau tidak mendengarkanku?" Jia sedikit memiringkan wajahnya, menelisik sorot mata Taehyung.

"Maaf. Sepertinya aku sedikit melamun."

Senyum tipis Jia terbit sebagai pereda kekakuan Taehyung yang merasa bersalah. "Makan malamnya sudah siap. Kau ke meja duluan, aku harus meletakan ini di belakang."

Selesai menginstruksikan Jia lantas melenggang pergi ke ruang cuci di belakang. Tak lama Taehyung pun segera menuju ruang makan.

Jia kembali setelah meletakan baju kotor di mesin cuci dan siap untuk makan malam. Perutnya sudah cukup lapar Jia sengaja tak memakan camilan apapun supaya saat malam ia bisa menemani Taehyung makan malam.

"Ji---" Taehyung bersuara ditengah-tengah makan mereka.

"Hm?" Jia mendongak menatap Taehyung dengan mulut yang mengembung dipenuhi makanan, seperti tupai yang banyak menyimpan kacang di mulutnya. Jika seperti ini jujur Taehyung tak kuat menahan keinginan untuk mencubit pipi istrinya.

Taehyung terlihat ragu untuk melanjutkan niatnya untuk berbicara. Bibir bawahnya masih melesak di dalam mulutnya diapit dengan kedua deretan gigi.

"Selesai makan aku ingin berbicara."

"Soal?" Mulut Jia tak berhenti mengunyah sembari merespon perkataan Taehyung.

"Nayun."

Sudah dalam waktu yang cukup lama Jia berusaha terbiasa dengan nama itu, namun anehnya ia selalu terkejut ketika Taehyung tiba-tiba menyebut namanya.

Kurang dari dua puluh menit mereka menyelesaikan makan malam mereka. Napsu makan Jia mendadak hilang, namun ia berusaha tidak memperlihatkannya pada Taehyung. Jia tak ingin Taehyung merasa tertekan dengan sikap Jia yang belum terbiasa.

Hujan turun setelah mereka selesai makan malam. Taehyung duduk di sofa ruang tamu Jia menyuruhnya untuk menunggunya di sini. Dan sampai beberapa menit Jia pun datang membawa dua gelas teh hangat yang sangat cocok untuk cuaca dingin.

"Jadi, apa yang ingin kita bicarakan?" tanya Jia usai meletakan satu gelas teh ke meja dan satunya lagi diberikan langsung kepada Taehyung.

Taehyung tak langsung menjawab, ragu masih bergelut dengan keyakinannya.

"Aku tidak tahu kau akan menerima ini atau tidak. Kupikir aku hanya perlu membicarakannya terlebih dulu." Sulit, ini rasanya sangat sulit untuk Taehyung. Namun, apapun keputusannya yang paling penting ia hanya berusaha selalu terbuka.

Jia bisa merasakan sebuah keraguan dalam tatapan Taehyung. Perlahan Jia mengulurkan tangannya dan meraih tangan Taehyung, menyatukan jari-jarinya dengan jari-jari besar pria itu. Berusaha sedewasa dan setenang mungkin, Jia melempar senyuman hangat untuk memperkuat keyakinan suaminya.

StuffyWhere stories live. Discover now