12 | Han Jimin?

1K 146 2
                                    

Sepertinya memang sudah direncanakan sebelum dua bocah ini berkunjung. Nyatanya segala perlengkapan untuk bermalam sudah ada dalam bagasi mobil; dari dua pasang baju tidur merah muda, penutup mata kembar, dan baju ganti untuk siang hari semua sudah tersedia.

"Jadi ini memang sudah direncanakan, ya?" Jia berkacak pinggang di hadapan si kembar. Dengan santai dua bocah itu sudah menguasai sofa, berleha-leha sambil menonton film anak-anak pada iPad yang dipinjamnya dari Taehyung.

"Imo, kami sangat butuh waktu healing. Jika dirumah kami pusing dengan eomma yang selalu merepet menyuruh kami belajar." Jia terheran-heran dengan ucapan Yena. Bocah baru berusia lima tahun, mengeluh seakan hidupnya dipenuhi dengan beban setinggi gunung. Andai mereka mengerti seperti apa beban sesungguhnya, pasti tidak hanya ingin healing tapi juga ingin menghilang dari dunia agar terbebas dari beban hidup.

Selain itu, mereka tahu jika Jia hanya bersikap tegas. Mereka tahu Jia tidak benar-benar marah, maka dari itu mereka begitu santainya jika sudah berkunjung hingga bermalam di rumah ini.

Jia menghela napas, "Kalian pikir seberapa berat beban anak kecil?"

"Sangat berat. Kami dibangunkan jam lima pagi, setelah itu mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Itu sangat melelahkan, Imo." Yuna berkeluh dengan amat dramatis, mengeluh sebagaimana orang dewasa bercerita tentang sulitnya kehidupannya.

Jia tidak keberatan dengan kehadiran mereka, justru ia senang bisa mendengar keluh kesah si kembar ketika sedang beralasan. Kalau mendengar cerita ibu dari bocah itu, Yuna Yena mengikuti karakter Taehoo jika dalam mode malas. Untuk Yena, ia lebih dominan mengikuti karakter Park Yungi—kakak laki-laki dari Yura—dari segi bicara, berpikir, dan menanggapi sesuatu dengan tenang.

"Maka dari itu Imo diam saja. Biarkan kami menikmati waktu dengan bebas. Dengan begitu kecantikan Imo akan bertambah." Lebih terdengar seperti menyogok dengan pujian, tapi bagi Jia itu lucu namun tidak bisa dibenarkan, bagaimanapun juga anak seusianya sudah harus diajarkan memilih tanggung jawab dari hal-hal kecil.

Kedua tangan Jia dilipat depan dada sebelum kembali berkata, "Baiklah tapi jangan sampai larut, Imo akan ke atas hanya sebentar. Jangan kemana-mana."

Tadi setelah makan malam, Taehyung langsung pergi ke kamarnya tanpa mengajak keponakannya bermain. Apa mungkin kondisi tubuhnya memburuk lagi? Tapi tadi pria itu makan dengan lahap dan mengajak si kembar bercerita. Jia menghampiri kamar Taehyung lalu mengetuk pintunya, kurang dari satu menit pintu berwarna putih terbuka, memperlihatkan Taehyung dengan keadaan rambutnya yang kuyup, sepertinya pria itu selesai mandi. 

"Boleh aku masuk?" Jia bertanya, separuh menahan napas sebab penampilan Taehyung membuat wajahnya memanas. Pria itu baru selesai mandi, menatapnya dari balik rambut lembabnya yang melewati alis.

Tidak menjawab, Taehyung hanya memperluas pintunya, memberikan jalan untuk Jia. "Silahkan."

Jia menduduki ranjang Taehyung sambil mengangkat kaki kanannya bersilang di atas kaki yang lain, belahan setinggi paha pada bagian samping gaun tidurnya otomatis tersingkap, sedikit memperlihatkan paha mulusnya.

Sempat terpusat akan hal itu saat menduduki sofa, Taehyung segera mengalihkan pandangan ke arah lain sambil menggosok rambut dengan handuk kecil yang melingkar di belakang leher.

"Minggu depan ada acara pertemuan dengan teman-teman lamaku," ucap Jia, mencoba untuk santai, "beberapa dari mereka mengajak pasangannya. Nari menyarankan agar aku tidak datang sendirian."

Nari bekerja sebagai manager di kantor Taehyung jadi tidak mungkin Taehyung tidak mengenal wanita itu.

Gerakan mengusap kepala Taehyung melambat, tangannya turun dari kepala. Ia tampak berpikir sejenak.

StuffyWhere stories live. Discover now