goodbye

158 30 11
                                    

Kepulan asap dari cangkir kopi menjadi penanda dinginnya pagi ini. Kabut masih enggan beranjak, menyembunyikan pemandangan indah dalam dekap embun yang cukup tebal.

Satu sesap ringan berhasil membasahi tenggorokan, nikmat namun hampa. Kosong menyelimuti Jiyong hampir satu minggu ini. Setelah malam itu, eksistensi Dara pudar, presensinya lenyap di sekitar Jiyong. Jangan tanya mengapa, sudah pasti keduanya masih sama-sama enggan untuk berbicara, ntah karena saling merasa salah atau malah merasa saling benar.

"Masih menuruti ego?" Satu bait kalimat berhasil membuat Jiyong menoleh, menatap Datar sebelum kembali mengecek laporan di IPad.

"Siang nanti, Aku kembali ke Korea." Ranum itu berkelit untuk tidak menanggapi ucapan Dami. Masih denial soal keadaan. Yang lebih tua menyimpan tubuh, bersebrangan dengan kursi Jiyong.

"Ji, mau sampai kapan ?"

"Apanya?" Dami menggeleng pelan mendengar jawaban datar tanpa atensi ke arahnya.

"Salah paham di hubungan kalian." Halus sekali tutur itu berbicara, tenang. Berusaha membangun suasana.

Jiyong bergeming, terlihat seperti berfikir sebab sebelah tangan kembali menyimpan IPad di atas meja. "Dia harus memikirkan ucapanya terlebih dahulu dan menyadari kesalahannya." Dami tersenyum simpul, mencoba melempar afeksi nyaman agar sang adik membuang semua keluhannya.

"Dara tidak seharusnya meragukan perasaanku setelah apa yang sudah aku usahakan untuk sembuh dan membuka hatiku lagi."

"Lagipula, Dara tidak berusaha menghubungiku sejak malam itu."

"Mungkin, ini waktu terbaik bagi kami untuk saling merenungi. Apakah pernikahan ini masih layak untuk mengikat kami atau sebaliknya." Sejujurnya, Dami menangkap nada sumbang dari bait terakhir yang Jiyong lempar untuknya tapi Ia berusaha tenang.

"Jika perasaan kami tidak sekuat itu untuk saling bertahan dan tabiatku masih sama buruknya. Aku juga takut mengikat Dara." Obsidian itu kosong, hampa tanpa cahaya ketika berbicara. "Meskipun aku sudah jatuh hati padanya." Ia memalingkan wajah setelah berhasil menuntaskan tuturnya. Tidak mengira jika keluhan seperti ini berubah menjadi rangkaian kata bersuara, sebelumnya hanya berupa angan kosong yang membuat riuh kepala.

Dami mengulum bibirnya sendiri, mencerna semua hal yang baru saja Ia dengar. Ini kali pertama yang lebih muda mengeluh dengan gamblang, setelah Jiyong di hantam kejadian buruk beberapa tahun lalu. Dami senang, Jiyong membahas ini denganya meski tak bisa di pungkiri Ia ikut sakit melihat adiknya menahan getir seperti ini.

Satu uluran hangat meraih tangan Jiyong lembut, membawa obsidian itu menatap manik Dami. Tersenyum hangat sebelum sebuah kalimat mengalun tenang. "Noona boleh bersuara soal ini?" Dan anggukan ringan Jiyong membawa Dami memulai kalimatnya.

"Apa yang kau rasakan itu valid, Ji. Sama seperti apa yang Dara rasakan, perasaan kalian sama-sama valid."

"Ragu itu salah satu warna yang ada dalam hubungan, jadi penyempurnaan kalo berhasil menggoresnya dengan baik tapi jadi petaka kalo menggoresnya dengan asal." Dami tidak akan segan bersuara setelah Jiyong memberi izinya. Ia akan berusaha menjadi penengah setelah mendengar cukup banyak, mengapa sepasang itu harus saling diam tanpa kabar, saling menghindari meski hati saling mencari. Perselisihan yang terjadi hingga apa saja yang terjadi malam itu, Dami sudah tau.

"Berlomba dengan raga yang tidak ada, Dara harus berbuat apa agar mendapat tempat disana? Di hatimu." Berhasil membuat Jiyong tertegun, obsidian itu jelas tercekat meski coba di sembunyikan.

"Hubungan kalian masih rentan, Ji. Dara itu pemula soal jatuh cinta dan langsung ketemu kau, yang masih terikat sama emosi masa lalu dan berusaha sembuh dari sana."

Light in the DarknessWhere stories live. Discover now