WHAT IF [END]

153 31 12
                                    

Rasa yang belum usai akan slalu menemukan jalan untuk mengusik ketenangan. Menabur ragu dimana-mana sebab hati memilih dungu ketika logika mencoba berteriak menyelamatkan keadaan. Cinta itu rawan, jika hati dan logika tak bisa berjalan berdampingan.

Bisikan halus dari ego yang terluka membuat Jiyong melepas semua kendali atas kesadaran yang Ia punya. Sorotnya lolos, menatap dingin Dara. Ada yang belum pria itu sadari, amarahnya yang slalu tergelitik ketika berhubungan dengan Kiko.

"Ada yang salah?" Berhasil membuat Dara menoleh, melempar tatapan bingung.

"Sorry?" Dahi itu lerlipat samar, bahkan alasan Jiyong menepikan mobil saja belum bisa Dara terka, jadi pertanyaan pria itu soal apa.

"Kenapa menatap guci Kiko dengan tatapan tidak suka?"

DEG

Dara lebih dari hafal, pria itu tak ulung soal basa-basi namun, bertanya dengan tatapan menuduh seperti itu membuat hatinya mencelos. Gadis itu tak keberatan soal kalimat melainkan tatapan. Haruskah?

"I didn't do that."

"You do, Dara." Sorot pekat itu terlihat menuntut penjelasan. Ia sampai melepas seatbelt lalu memutar badan untuk menatap Dara lekat.

"Tell me the reason!" Tajam sekali, hingga dada Dara bergemuruh hebat.

Ranum sang gadis tertarik halus, hambar menguar di sana. "Your heart still has it, am i wrong?" Berhasil membuat mulut Jiyong terkatup, sorot tajam itu limbung bersama gundah hati yang tidak bisa dia jelaskan. Presensi Kiko masih ada di sana dan di benarkah hatinya.

Tapi tetap saja, Dara berlebihan soal ini. Bagaimana bisa Dara cemburu dengan orang yang raganya sudah meninggalkan dunia. Harusnya gadis itu bisa memahami jika memang masih ada sedikit presensi Kiko dalam hatinya, namun mengapa Dara sangat egois, menginginkan hatinya bersih dan hanya terisi olehnya saja sementara Ia harus menghapus memori dari orang yang begitu Ia kasihi, memikirkan keegoisan Dara membuat egonya tersulut.

"Kamu benar! Masih ada Kiko disini." Jiyong menepuk dadanya keras. Membenarkan tuduhan Dara.

"Tapi dia sudah pergi, tidak ada yang perlu di kwatirkan soal bekas rasa yang masih tertinggal sedikit. Dan tatapanmu tak seharusnya seperti itu, Dara! Hormati dia, setidaknya tunjukan empatimu, kenapa malah menatapnya tidak suka." Nyanyian sumbang Jiyong berhasil memekakan rungu Dara. Gadis itu tersenyum getir. Begini saja membuat Jiyong murka.

Logika semakin samar memihak kewarasan, kala emosi memenuhi angan, mencoba mengambil alih, membuat keruh keadaan. Sesumbang malam yang semakin pekat, menelan cahaya hangat dari lampu kota, temaram kota sama dengan kondisi hati keduannya. Dara tak lagi bisa menahan kata,  Jiyong seolah memancingnya untuk membawa topik ini sekarang, jadi Ia turuti pria itu.

"Bagaimana jika Kiko masih hidup?" Terdengar asal di telinga Jiyong namun sialnya tambah menggelitik ego pria itu.

"Jika perpisahan kalian bukan soal keadaan melainkan pilihan?" Ntah mendapat keberanian dari mana, deret kalimat itu mengalun lancar dari ranum Dara. Menantang emosi Jiyong yang sudah mencapai ubun-ubun.

"Apa aku tetap bisa masuk dan mendapat tempat di hatimu?" Dara sedikit berbisik, ulu hatinya seperti tercabik, sakit sekali mengatakan kemungkinan fakta itu.

"Kau meragukan perasaanku padamu, Dara?" Kesabaran itu lenyap, geram jelas menguar dari sorot yang padam menggelap.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ji. Kenapa bertanya hal lain?"

"Kau berbicara seolah Kiko masih hidup dan membuat rencana ini, terlibat kecelakaan dan menghilang? Yang benar saja!" Jiyong berdecih sinis. Dara semakin  keterlaluan dan Ia harus cepat memotong pikiran buruk gadisnya.

Light in the DarknessWhere stories live. Discover now