CHAPTER 34

6.6K 464 27
                                    

"Adrian tak perlu pergi, mari kita urus jenazah Zaki sama-sama," ucapku pelan.

Ia menghela napas pelan dan menatap diriku penuh dengan deraian air mata.

"Ibu," tatapannya berubah, alisnya menyerit.
"Ke-kenapa?" Aku menatapnya dengan tatapan takut.

"Ini semua ulah Ibu? Ibu menjalani ritual pesugihan?"

Deg.

Apa-apaan ini? Anak dan Bapak sama saja, menuduhku yang membuat ulah ini.
"Maksudmu apa, Adrian? Kamu lancang!" bentakku di hadapannya.

"Lalu, Bapak di mana, Bu? Aku ingin bicara!"
"Sudah Ibu bilang, Bapak pergi! Dia sudah tidak peduli lagi dengan kita!"

"Ibu berbohong, aku sudah tidak mau percaya lagi!"

Ia mencoba berlari meninggalkanku, tetapi aku berhasil mencegahnya.

"Adrian! Dengerin Ibu. Sudahlah, bapakmu tidak peduli lagi. Kamu Ibu izinkan pergi ke rumah Pak Haji Rosadi, tapi ingat hanya untuk mengurus jenazah Zaki."

Ia menangis sesenggukan, aku tak bisa membiarkan ia terus menangis seperti ini. Maafkan Ibumu ini, Adrian!

"I-iya, Bu," jawabnya lirih.

***

Sembari aku menunggu Adrian datang, aku menimang Zaki dengan wajahnya yang sudah memucat.

Dalam batinku berkata, aku wanita jahat! Aku wanita setengah iblis yang tega merenggut kelima anakku. Namun, di satu sisi, aku bahagia mendapatkan hasil dari jerih payahku.

Ketukan pintu terdengar tak lama setelah kepergian Adrian.

"Ibu, Pak Haji sudah datang."

Aku berhenti melamun, dan mataku langsung terperanjat melihat Pak Haji Rosadi dengan wajah yang sangat berbeda. Ia tampak membenci diriku.

"Apa ini? Zaki meninggal? Innalilahi wa inna ilaihi roji'un."

Aku hanya bisa menghela napas pelan, ia merebut Zaki di timanganku.

"Bapak mau ngapain? Zaki sudah meninggal, Pak. Apakah Bapak tidak percaya?" tanyaku.

Ia tak menghiraukan apa yang aku katakan, perlahan ia memeriksa tubuh mungil anakku.

Lalu, ia menggeleng padaku dan menatapku dengan amat menelisik.

"Adrian, Bapak pergi dulu, ya. Biarkan Bapak mengumumkan bahwa Zaki telah tiada," ucapnya pada putra sulungku.

Adrian hanya menggeleng, lalu ia memberikan Zaki padaku.

***

Semua warga menatapku heran, aku tahu pasti mereka berpikir hal aneh padaku.

'Anaknya Sania, kok, sering meninggal, ya, padahal nggak sakit apa-apa.'

'Iya aneh, si Bahar juga nggak kelihatan.'
Ada seorang dari wanita paruh baya yang sedang menggunjingku. Namun, aku menelisik keluar, tak ada Bu Puji di sana.

Bu Puji tidak hadir? batinku.

Aku mencoba untuk meneleponnya.

Namun sambungannya tiba-tiba terputus. Kenapa dia pergi? Entahlah, aku akan mencoba ke rumahnya kalau prosesi pemakaman sudah selesai.

"Bapak di mana, Adrian? Kenapa Bapak tidak melihat dari tadi." Pak Haji Rosadi tampak celingak-celinguk dan memberi kode kepada Adrian.

Adrian menggeleng. "Tidak tahu, Pak. Ibu bilang Bapak pergi."

Dahinya berkerut, aku menguping pembicaraan mereka dari belakang.

Pak Haji Rosadi tiba-tiba menoleh ke arahku. "Suamimu pergi ke mana?"

Tak tahu mengapa tiba-tiba, aku sangat gugup untuk menjawab. "Anu, tadi dia marah-marah lalu entah pergi ke mana. Dia tidak peduli lagi dengan kami, Pak."

"Siapa yang bilang begitu? Beberapa waktu ini dia sering mengobrol dengan saya, dia orang yang baik sekarang," jawabnya dengan sorot mata yang tajam.

Aku membuang muka agar dia tak banyak bertanya tentang Mas Bahar.

Sunyi setelah kepergian anakku, Zaki. Hening tak ada tangisan anak kecil lagi.

Adrian yang tampak lesu duduk di atas sofa dengan raut wajah yang amat lelah.

"Makan dulu, Adrian," perintahku padanya.
Ia menggeleng dengan tatapan matanya yang kosong. Aku mencoba membujuknya. Namun, tak digubris.

Aku menghela napas ringan, mengapa tiba-tiba pikiranku menjadi gelap tak ada arah, rasanya aku benar-benar kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Namun, di sisi lain, aku mempunyai banyak harta.

"Mas Bahar?" Sesekali aku melihat ke arah kamar kecilku, jasad utuh Mas Bahar masih ada di dalam.

Ah, sudahlah ini hanyalah pikiranku saja yang masih kacau karena Zaki baru saja pergi. Dan setelahnya aku bisa menikmati hartaku dengan semauku.

***

Malam hari, dingin nan sunyi. Adrian terfokus dengan buku-buku yang berserakan di atas meja belajarnya. Aku lebih fokus dengan ponselku.

Oh, aku lupa. Aku, kan, ingin ke rumah Bu Puji. Coba aku telepon dahulu, batinku.

"Halo, Bu. Ibu sudah tahu kalau Zaki sudah meninggal?"

"Halo, iya. Saya sudah tahu, Mbak. Maafkan saya, saya harus pergi," jawabnya.

Dahiku mengernyit. Aku terheran-heran. "Pergi ke mana?"

"Saya harus pergi dari sini, di sini tidak aman untuk saya. Semoga Mbak baik-baik saja, ya," ungkapnya.

Maksudnya apa? Baik-baik saja? Apakah ada hal lain yang akan menimpaku?

"Halo, Bu. Bu ...."

Dia sengaja menutup teleponnya, sebelum aku bertanya lebih jelas.

"Ibu kenapa?" Adrian bertanya padaku.

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa lanjutkan belajar."

Perasaanku menjadi sangat cemas, apakah Adrian menjadi korban selanjutnya? Ah, aku tidak ingin dia pergi dan meninggalkanku sendiri tanpa siapa pun. Aku hanya punya Adrian seorang.

Tiba-tiba, air mataku menetes dan mulai memeluk putra sulungku yang kini menjadi putra semata wayangku.

"Ibu kenapa sih? Kok, nangis?"

"Kamu jangan tinggalin Ibu, Adrian. Ibu takut sendirian," ucapku.

"Adrian di sini, Bu. Tidak akan pernah meninggalkan Ibu," jawabnya singkat.
"Janji?"

Ia mengangguk. "Ibu sudah menyesal berbuat seperti ini?"

Tangisku tiba-tiba berhenti, laluku usap dengan kedua tanganku.
"Maksudmu, ritual pesugihan?"

THE DEVIL OF MOM [ Selesai dan Lengkap ]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz