CHAPTER 28

7.1K 511 37
                                    

"Bagaimana ini, Dok? Kenapa anakku tidak bisa diselamatkan?" Aku sangat panik dengan penuturan dokter bahwa Raya tidak bisa diselamatkan.

"Saya tidak bisa menjawab apa pun, Pak. Ini sudah takdir," ucapannya membuat tak puas.

"Ayo, Dok. Sekali lagi. Dia pasti masih bisa hidup!" Aku mencoba dan mencoba membujuk dokter agar dia memeriksa Raya kembali.

Ia menggeleng. "Tidak bisa, Pak. Jantung anak Bapak sudah tidak berdetak lagi."

Deg!

Kenapa kejadian kematian ini berturut-turut? Baru saja aku kehilangan bayi di rahim Sania dan sekarang harus kehilangan anak perempuanku. Aku yakin ada yang tidak beres yang sedang menimpaku.

Akhirnya, dengan rasa yang amat sedih aku membawa Raya pulang untuk dimakamkan. Dokter hanya bilang, Raya tiba-tiba terkena demam berdarah, lalu akhirnya Raya sering muntah darah, tapi mengapa hanya dalam waktu sehari? Ini tidak logis!

Sirine ambulans berbunyi sangat keras, semua warga sekitar keluar rumah dengan wajah yang panik.

Aku terus menangis berderai air mata meratapi jenazah Raya. Tak percaya dia pergi secepat ini.

"Pak, rumah Bapak di depan, kan?" Sopir ambulans menunjukkan sebuah rumah yang persis di depan kami.

"Iya, Pak," jawabku pelan dengan nada sesenggukan.

***

Mobil ambulans berhenti. Warga yang telah keluar dari rumah datang untuk melihatku.

"Ada apa ini, Bahar? Siapa yang meninggal?" tanya salah satu ibu-ibu yang berdiri tepat di hadapanku.

"Raya," jawabku amat pelan.

"Raya?!"

"Innalilahi wa Inna ilaihi roji'un!"

Semua amat mencekam, terlebih lagi ternyata Bu Puji sudah ada di rumahku sedari tadi.

"Ada apa ini?" Ia seperti pura-pura ingin mengetahui hal ini.

"Ibu kenapa di sini? Mana Sania?!" bentakku sedikit keras.

Matanya terfokus pada jenazah Raya yang masih di dalam mobil.

"Turunkan dulu anakmu!" perintah Bu Puji.

Tak bepit lama aku langsung menurunkan jenazah Raya dan ditempatkan di ruang tamu.
"Raya, Raya!"

Sania dengan berjalan pincang menghampiri jenazah Raya.

"Mas, kenapa bisa meninggal?" Ia menangis dan sesekali mencium kening anak kami.

Mataku mendelik saat melihat Bu Puji sesekali tersenyum kecut.

"Bu Puji kenapa? Senang melihat anaku meninggal?" tanyaku.

"Astagfirullah, kenapa berpikir seperti itu?" Ia menggelengkan kepalanya.

Warga datang silih berganti, tetapi aku tak melihat ada Adrian di sini.

"Sania! Adrian di mana?" tanyaku.

Ia masih menangis, entah hanya pura-pura atau nyata.

"Aku tidak tahu, Mas!"

***

"Bapak!" Suara anak lelaki memanggilku. Ya, itu Adrian datang bersama Pak Haji Rosadi.

"Kamu dari mana? Lihat adikmu!" Aku memperlihatkan Raya yang terbujur kaku dengan kedua matanya yang telah terpejam.

"Pak? Raya beneran meninggal?" Ia menatapku dengan mata yang sudah berlinang.

Aku mengangguk lemas.

Adrian jatuh tepat di samping jenazah Raya, ia menangis tersedu-sedu.

"Mas, aku nggak rela!" lagi-lagi Sania merasa sangat terpukul atas meninggalnya Raya.

"Ikhlaskan, bukankah ini kemauanmu?"

Aku terkejut saat Pak Haji mengatakan hal itu.

"Maksud Bapak apa? Kemauanku?! Ini takdir, Pak!" Sania bangkit dan membentak Pak Haji dengan nada yang cukup keras.

Semua warga yang tengah berbela sengkawa tampak ikut ribut dengan ini, para Ibu-Ibu menarik paksa Sania agar tidak menimbulkan keributan.

"Maksud Bapak apa?" bisikku padanya.

Ia menggeleng.

Ada mengira maksud khusus mengapa Pak Haji mengatakan demikian.

"Saya pulang dulu, permisi!"

Bu Puji tampak pergi berlalu meninggalkan kami.

"Mau ke mana kamu!" Pak Haji tampak mengikuti Bu Puji dari belakang.

Ia mencegatnya. Namun, aku tak tahu apa yang terjadi, aku lebih fokuskan untuk pemakaman Raya.

***

Pak Haji Rosadi kembali. Namun, Bu Puji entah ke mana. Aku tak menanyakan hal tadi, kami semua dengan khidmat mengurus jenazah Raya.

Pemakaman berlangsung cukup lama karena Sania sering kali jatuh pingsan.

"Bahar, nanti Bapak adakan tahlil di rumahmu, ya," bisiknya padaku setelah prosesi pemakaman ini selesai.

Aku mengangguk. "Iya, Pak, dengan senang hati."
"Tidak!" Sania berteriak histeris.

"Ada apa?! Ayo bangun, jangan meratapi seperti ini!" Aku mencoba meraih Sania agar ia bangun dari pusara makam Raya.

"Istri saya kenapa, Pak? Kenapa bisa seperti ini?" bisikku pada Pak Haji Rosadi.

"Tidak apa-apa, ini wajar," jawabnya santai.

***

Setibanya di rumah, setelah pemakaman Raya. Sania masih lemas dan sesekali memegangi perutnya, aku tahu ia masih merasakan sakit pascaoperasi.

"Adrian, bawa Ibumu istirahat ke dalam kamar," bisikku pada anak sulungku. Aku meraih Zaki dan memangkunya.

"Bahar, saya pulang dulu, ya. Nanti malam saya adakan tahlilan di sini, nanti saya ajak warga untuk datang," ucapnya padaku.

"Iya, Pak Haji, terima kasih," timpalku.

THE DEVIL OF MOM [ Selesai dan Lengkap ]Where stories live. Discover now