Setelah berlama-lama mendengar penjelasan itu, Delisa pamit, keluar dari ruangan papanya dan berlari ke sembarang arah.

Ia sangat membenci semua penjelasan papanya. Bukannya ia tak mau belajar, dan bukannya ia tak menyesal dengan nilainya itu. Tentu saja ia memikirkan nilai-nilainya juga. Dan tentu saja ia merasa malu dengan nilai nilai itu.

Hanya saja dari dulu, papanya tidak pernah berubah.

Baik itu kepadanya atau pun kepada adiknya. Setiap hari mereka selalu diperintahkan untuk belajar. Walau tak ada tugas pun, mereka harus belajar dan dipantau setiap harinya.

Delisa sangat berbeda dengan adiknya, Sheila. Sheila anak yang pintar, hampir semua nilai Sheila melebihi rata-rata. Walau ada beberapa kali Sheila mengambil kesempatan untuk tidak belajar, tapi nilai yang di dapat selalu diatas rata-rata.

Berbeda dengan dirinya yang bodoh. Belajar saja dia masih mendapatkan nilai jelek, apa lagi tidak belajar.

"Sial!" kesal Delisa mendaratkan pukulannya pada gedung sekolah

Ia sangat membenci dirinya yang bodoh. Rasanya ia tak cocok dengan keluarganya. Papanya yang pintar, mamanya yang pandai, adiknya yang ahli dalam segala bidang. Sedang dia, Delisa hanyalah anak kepala sekolah yang bodoh.

Rasanya Delisa ingin sekalimenghilang dari dunia. Hidup di dunia baru dimana tidak ada satu pun orang yang memperdulikannya. Hidup dengan aturan yang ia mau.

Sekali lagi, Delisa mendaratkan pukulannya ke gedung sekolah. Tapi bersamaan dengan itu, seseorang datang menghampirinya dengan tatapan datar, seakan telah mengerti apa yang dirasakan Delisa.

"Kenapa?" tanya Delisa dengan cetus

"Seharusnya aku yang bertanya begitu" balas Akram sambil melipat tangannya

"Kenapa kau kesini?"

"Dari tadi aku mencari mu. Tadi pak guru memberikan kisi-kisi untuk ulangan selanjutnya" lirih Akram sambil memberikan selembaran kertas kepada Delisa

"Kau mencari ku hanya untuk ini?"

"Bagaimana tadi?"

Bukannya menajwab, Akram malah bertanya balik seakan mengalihkan topik pembicaraan. Ia menyenderkan dirinya di dinding tepat disamping Delisa.

"Seperti biasa" lirih Delisa yang ikut menyenderkan dirinya ke dinding

"Jadi anak kepala sekolah memang berat ya" lirih Akram

"Yahh, berat untuk orang bodoh seperti ku"

"Dibanding dengan kau, sepertinya aku lebih parah"

"Tapi kau aneh. Kalau di film-film, Biasanya orang yang aktif dan populer itu kan pintar. Kenapa kau tidak?"

"Kau merendahkan ku ha?!"

Delisa tertawa menimpali Akram. Ya, selalu begitu. Sejak mereka kenal dan dekat, Akram selalu berhasil membuat Delisa tertawa.

"Sebenarnya kita ini sama. Sama-sama bodoh"

Mereka tertawa menikmati terik matahari siang itu. Jauh dilubuk hati kedua insan itu, ada sesuatu yang membuat mereka sama-sama merasakan nyaman.

"Nanti malam aku pergi dengan Niko. Kau mau bareng?"

Ya tuhan! Kenapa saat Akram merasa nyaman seperti ini, Delisa selalu menyebut nama Niko?!

- C -

"Kenapa akhir-akhir ini kau sering keluar malam?"

Caca melirik sekitaran memikirkan alasan yang bagus untuk ibunya.

Cinta ABCD [ON GOING]Where stories live. Discover now