[23] Yang Sulit Itu Memahami

277 40 22
                                    

Tidak ada api yang bisa padam jika bertemu udara, justru baranya akan semakin kuat, membakar habis seluruh sisa kewarasan yang ada. Kita perlu memberi air agar apinya padam, hilang luruh bersama genangannya yang mengalir. Begitulah yang sering diibaratkan dalam hubungan, saat keduanya sedang emosi, menjauh adalah jawaban. Saling mencari ketenangan, lalu kembali lagi setelah waras didapatkan.

Karena api tidak akan menang lawan api. Setidaknya air terbukti ampuh mendamaikannya. Itu yang Radit pelajari usai pertengkaran hebatnya dengan Meira saban hari. Kekalutan di dadanya perlahan luruh seiring dia memikirkan letak salahnya.

Iya, dia salah bersikap kasar pada Meira hari itu, meski Radit akhirnya tahu jika Rayyan mantan kekasih Meira, tapi tidak seharusnya dia bersikap tidak sopan. Selama merenung, Radit banyak memikirkan sikapnya belakangan ini, mereka jarang bicara, Radit merasa itulah penyebab utamanya. Komunikasi.

Setiap hubungan selalu punya masing-masing masalah. Radit tidak ingat pernah bertengkar dengan mantannya sehebat ini dahulu, paling mereka bertengkar karena Radit berubah menjadi asing saat mereka menjalin kasih. Dia tahu itu salah, tapi memang Radit tidak pernah serius dalam hubungan, dulu.

Namun sekarang lain. Meira membuatnya berbeda, dia sungguh ingin serius dengan perempuan itu. Maka, bertengkar dengan Meira membuat hatinya kacau. Dia kalut memikirkan sendiri jika saat ini dia telah melukai hati perempuan cantik itu.

Lantas, dia merasa dia yang harus datang lebih dulu. Radit mendekati Meira yang sendirian hendak membeli nasi goreng Bang Butut.

"Sendirian aja, Neng?"

Meira tidak mengubris. Radit memelankan motornya di sebelah trotoar jalannya si perempuan. Pria itu menarik napas.

"Mau ke mana, Neng?"

"Nggak tau."

"Kok nggak tahu? Nggak mau ikut Abang aja?"

Meira mendelik sebal, mempercepat langkah, Radit sedikit menggas motornya hingga kembali sejajar.

"Jangan gitu dong, aku minta maaf, Yang."

Meira tetap tidak peduli.

"Ayang!"

Radit akhirnya menghentikan motornya dan segera mengejar si perempuan, menahan tangan Meira hingga kini mereka berhadapan. Jarak antara mereka dengan nasi goreng Bang Butut sisa beberapa meter lagi.

"Aku minta maaf, kamu nggak mau maafin aku?"

Meira membuang muka.

Radit memegang kedua tangan kekasihnya, memelas. "Aku salah kemarin, aku cemburu sama dia. Maaf."

"Iya."

"Liat sini dong, masa pacarnya ngajak ngomong, matanya ke tempat lain."

Meira akhirnya menatap sang kekasih, sejujurnya dia begitu merindukan pria ini. Pertengkaran mereka saban hari membuat segalanya menjadi muram baginya. Uring-uringan. Radit mengusap wajah Meira.

"Aku nggak janji loh bisa nahan cemburu, gimana pun aku sayang sama kamu, jadi kalau nanti aku cemburu lagi, kelewatan sama kamu, kamu boleh pukul aku, apa aja deh. Yang penting jangan kayak hari ini, ya."

Meira mau tertawa melihat wajah memelas Radit, tidak dia sangka buaya kampus bisa seperti keledai dicocok hidungnya yang menurut begitu saja.

"Iya, aku juga minta maaf."

Radit bingung. "Kamu nggak salah."

"Aku salah karena kebawa emosi juga. Aku kesel kamu deket lagi sama Salsa, terus kesel juga orang-orang bilang aku nggak bisa jadi langgeng sama kamu lah, apa lah."

Suami Impian - ENDWhere stories live. Discover now