55

65.3K 2.3K 167
                                    

Agam berdecak saat telepon gadisnya tidak diangkat juga. "Ke mana sih anaknya? Sekali lagi gak diangkat gue ke rumahnya nih."

Dan pada saat Agam sudah mau beranjak dan mematikan telepon videonya, telepon itu diangkat dan menampilkan wajah Baby yang masih muka bantal. "Emm, kenapa om? Masih ngantuk Baby."

Agam menghela nafas panjang, ia duduk di kursinya. "Kok baru bangun? Kamu sakit?"

Terlihat gelengan di ujung sana. "Baby semalem habis marathon drakor, gemes sama pasangannya sampai ternyata udah jam empat aja."

"Sayang ..." hela nafas Agam terdengar berat.

"Jangan dimarahin ya, cuma sesekali kok gak tiap hari gini."

"Ya udah lanjut bobok aja, nanti jam makan siang aku jemput."

"Mau ngapain? Fitting lagi? Atau mau liat apa? Baby takut gak kebangun kalau kurang-- em sekarang jam 10 ya? Cuma dua jam lagi takutnya Baby mssih ngorok."

Agam tersenyum gemas, kekasihnya ini sangat menggemaskan apabila sedang begini. "Semua untuk nikahan kita udah siap, tinggal kitanya aja. Ya udah nanti aku habis pulang kantor aku ke sana."

Baby mengangguk dan Agam berdecak saat ponsel Baby terjatuh dan menampakkan layar hitamnya. "Ya udah, aku matiin dulu ya?"

Tidak lama wajah Baby terlihat lagi di layar ponsel Agam. "Heem, Baby bobok dulu, om. Semangat kerjanya, love u."

"Love you more, honey. "

Agam menggeleng-gelengkan kepalanya saat telepon itu sudah di tutup. Tidak terasa hari pernikahannya kurang seminggu dan gadisnya sekarang sudah libur kuliah. Baru saja akan menghadap laptop lagi, suara pintu ruangannya yang terbuka langsung membuat Agam menatap lurus pintu itu, niatnya ingin memarahi karena membuka pintu tanpa mengetuknys dahulu, tapi setelah tau siapa yang buka Agam langsung kicep.

"Abang."

"Lo pasti mau marahin gue kan?"

Agam menyengir, ia berdiri dan ikut duduk di samping Daren. Aura lelaki itu seperti berbeda setelah menikah. "Abang makin cerah aja."

"Tiap hari ada istri yang nyambut waktu bangun pagi kok."

"Sama ada jatah ya bang?"

Daren menyilang tangannya di dada, bersandar di sandaran sofa. "Itu mah jelas."

"Kenapa bang? Gak mungkin abang ke sini tanpa ada tujuan."

"Mau ngayakinin lo aja lo beneran mau nikah atau enggak sama adik gue."

Agam mengerucutkan bibirnya. "Gak usah aneh-aneh deh, bang. Udah pasti jawabannya yakin 100%."

Daren merubah posisi tubuhnya, menatap lurus mata Agam. "Yakin bisa hadapin sikap bocil nya Baby?"

Agam mengangguk yakin. "Yakin."

"Yakin bisa nurutin segala hal kalau adik kecil gue lagi badmood?"

"Yakin, bang."

"Yakin mau direpotin sama dia?"

"Yakin."

"Kalau dia nanti sama lo tiba-tiba tapi na'uzubillahiminzalik sih punya penyakit atau apa gitu, lo masih mau nerima?"

Agam mengetuk dahinya lalu meja beberapa kali. "Jangan sampai sih bang, tapi gue yakin masih bakalan di sampingnya."

Daren menghela nafas panjang, ia mengangguk. "Ya udah lanjut, gue cuma gak mau adik kecil gue ngerasain sakitnya pernikahan."

"Gue gak bisa janji sama abang untuk bilang Baby gak bakalan ngerasain sakit, gak bakalan karena tanpa sadar gue entah suatu saat pasti buat Baby sakit, tapi gue coba semampu gue untuk buat Baby bahagia, bang."

Om CEO [Selesai]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum