22. Angry Feminist

Start from the beginning
                                    

⠀⠀"Ini kalo dijual berapa, ye," ujar Dad lagi, masih tampak penasaran. Sebenarnya, Dad asli Purwokerto. Tapi, karena sudah belasan tahun tinggal di Tanah Abang, logat ngapaknya yang gurih mulai bercampur logat Betawi.

⠀⠀"Udeh ih, Dad. Gitu banget ngeliatinnye. Lagian Mbak Ar bilang gak boleh dijual, kan?" Zikri menyikut Dad.

⠀⠀"Kan Dad penasaran."

⠀⠀Sejak aku mengambil kotak ini dan membawanya ke Tanah Abang—sekalian mengantar Mas Ryu—permata di dalamnya memang menarik perhatian banyak orang.

⠀⠀"Mane coba, gue liat." Mbah tertatih-tatih, tapi wajahnya sih bersemangat. Zikri langsung memegangi lengannya. Meski tanpa kacamata, Mbah masih bisa melihat dengan cukup baik. "Widiiih, gede noh! Buat kalung ye?"

⠀⠀"Iye, di pesennya sih suruh jadiin kalung." Aku mengetuk kertas yang tadi.

⠀⠀"Cakep," angguk Mbah. "Kalo Eyang lu, batu-batunye emang biru semua. Kalo Oma Nur lu, ijo."

 ⠀"Oh iye, bener juga," Zikri menyahut, "cincin-cincin sama giwang Oma kan juga ijo."

⠀⠀"Emang die paling demen warna ijo, kan," ujar Mbah lagi, matanya masih memperhatikan batu safirku. Jari-jari tuanya yang sudah bengkok memegangi kotak beludru itu, menariknya lebih dekat.

⠀⠀Kalau harus memilih seorang tokoh feminis yang menjadi panutanku, mungkin aku akan memilih Mbah.

⠀⠀Seperti yang sudah pernah kubilang, Mbah adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk Oma dan Opaku jauh sebelum Mama lahir. Beliau berasal dari sebuah desa yang bersahaja di daerah Serpong, meski sekarang desa itu sudah berubah menjadi pinggiran kota.

⠀⠀Saat masih di desa, Mbah sudah menikah, dan memiliki satu anak yang masih bayi. Namun, di suatu hari, ia memergoki suaminya berselingkuh. Bukannya merasa bersalah, sang suami malah ingin menikah lagi. Mbah yang saat itu masih berumur belasan tahun langsung mengemas pakaian dan pergi ke Jakarta bersama bayinya. Tanpa tangisan, tanpa drama. Menceraikan suaminya begitu saja tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, karena dia merasa tidak butuh laki-laki bajingan untuk hidup.

⠀⠀Sejak itu, Mbah setia bersama keluarga kami, menjadi saksi kehidupan Geng Tenabang. Bahkan ketika Mama dan Rex sudah di ujung tanduk, Mbah juga yang memaksa Mama mengemas barang-barang, membawaku dan Mas Ryu kembali ke rumah Tanah Abang. Saat aku mulai menjalin hubungan dengan laki-laki, Mbah selalu memberikan warning.

⠀⠀Kalo laki udah bikin eneg, tinggalin! Kagak usah takut. Baru pacaran aje lu gak kuat, gimane ntar kawin? Jangan ngarep berubah, kagak bakalan! Mustahil!

⠀⠀Beliau paling sebal kalau sedang nonton sinetron-sinetron mellow yang menunjukkan seorang istri sabar nan lemah lembut ditindas suami semena-mena. Hobinya adalah mengomel ke TV, "yehh si bego, ngapain lu masih aje nungguin die? Kalo gue sih udah gue tinggal! Dikira laki doang yang bisa seenaknye?!"

⠀⠀Mbah, perempuan biasa, dari kampung, yang tidak bisa baca tulis kecuali angka di bon tukang sayur, dan tentunya tidak paham apa itu kata feminis, tapi dia bisa punya pikiran yang serupa. Sebuah bukti kecil bahwa feminis bukan hanya sekumpulan cewek-cewek kota yang 'terlalu ingin kebarat-baratan'. Isu-isu yang kami angkat adalah isu-isu yang relatable dengan mayoritas perempuan, dari manapun latar belakangnya. Perempuan desa juga bisa punya pandangan sepertiku, walau dia tidak tahu namanya adalah feminis. Dan bukankah itu mirisnya? Tanpa memandang latar belakang, perempuan mengalami masalah ketimpangan yang tidak jauh berbeda. Dan 'mereka' masih berani bilang kalau feminis hanya mengada-ada? Anjing.

⠀⠀Aku memanyunkan bibir, kembali fokus pada keadaan di sekitarku.

⠀⠀"Mama belom liat, Mama belom liat!" Mama merangsek keluar dari kamarnya.

⠀⠀"Gede banget, Ma. Segede jempol saya!" ujar Dad, mengacungkan jempol sebagai emphasis.

⠀⠀"Nih, tuh." Mbah menggeser kotak perhiasan ke arah Mama, tapi Mama malah memicingkan mata, keningnya berkerut.

⠀⠀"Mane sih? Duh, kelupaan kacamata gue lagi, gak keliatan!" keluhnya, "bentar, ambil dulu."

⠀⠀"Dasar mate kotok!" sembur Mbah sebal.

⠀⠀Zikri sudah cekikikan, begitu juga aku. Ini memang pemandangan biasa di rumah Tanah Abang, satu hal yang selalu kurindukan.

⠀⠀"EH MANE, GUE JUGA BELON LIAAAT!" seruan histeris Om Nash terdengar, disusul bunyi gedebak-gedebuk langkahnya menuruni tangga. Memasuki dapur dengan tergopoh, dan ikut memperhatikan batu safir yang menjadi primadona hari ini. "Buset, gede baaanget! Kirain tuh cuman sekelingking."

⠀⠀Mama muncul lagi, kali ini sudah mengenakan kacamata. "Oooh gue tau nih. Batu kesayangannya Ibu. Anaknya aje gak boleh pegang."

⠀⠀"Lah terus kok dikasih ke die?" Mbah menunjuk ke arahku yang langsung berpose lebay.

⠀⠀"Kan akyu juga kesayangaaaan~"

⠀⠀"Pret."

⠀⠀"Eh eh, terus ini mo kamu apain, Dek? Dijual?" tanya Om Nash, mendekatkan wajah untuk melihat detail cutting dari batu safir itu.

⠀⠀Mama menarik bahu adiknya menjauh. "Heh, idung lo jangan deket-deket. Entar tuh batu kesedot."

⠀⠀"Ya kali dah, Dianaaa. Lo pikir idung gue segede vacuum cleaner?!"

⠀⠀Aku mengabaikan perdebatan tidak penting mereka. "Nggak lah, gak mungkin dijual. Eyang suruh jadiin kalung, nih suratnye. Paling ntaran aku bawa ke Frank&Co kali yak."

⠀⠀"Oh iya, bener, bener. Bikin yang modelnye timeless jadi bisa dikasih ke anak kamu juga nanti." Om Nash manggut-manggut. "Ntar Om Nash kasih WAnye temen yang kerja disono, deh. Biar dibantuin."

⠀⠀"Siaaap."

⠀⠀Keluargaku kembali meributkan soal jumlah karat si batu, ramai sendiri. Membuatku tersenyum tipis. Untuk apa silsilah, sopan-santun, dan segala macam tetek bengek itu kalau aku sudah punya keluarga yang hangat, heboh, dan suportif seperti ini?

⠀⠀Si Macan kembali stuck di tengah Antasari, dan aku menghela nafas. Dari tadi, aku merasa semakin kacau. Meski aku terlihat kuat-kuat saja, tapi aku tetap manusia. Dan sudah sewajarnya seorang manusia memiliki titik kelemahannya sendiri.

⠀⠀Mataku memanas, oleh rasa lelah dan marah. Setelah semua yang telah aku lakukan, setelah berusaha setengah mati untuk sampai ke aku yang sekarang, mereka masih merendahkanku. Mereka masih memandangku sebelah mata.

⠀⠀Aku mengerjap, membiarkan satu tetes air mata mengalir. Lalu satu tetes lagi. Dan… cukup. Dua tetes air mata sudah cukup untuk orang-orang itu. Aku menyeka pipi, menarik nafas dalam-dalam. Bukan, aku bukan sedang memaksa diri untuk kuat. Jangan berharap aku bisa menangis tersedu-sedu. Karena, aku memang tidak bisa. Belum ada satu alasanpun yang bisa membuatku menangis seheboh itu—selain kadal, tentu saja. Tapi itu tidak masuk hitungan, kan?

⠀⠀Merasa lebih baik setelah dua tetes air mata yang turun, aku mengangkat wajah. Tidak apa-apa, aku akan mencari uang lebih banyak, dan menjadi lebih tinggi lagi, hingga mereka tidak bisa tidak menatapku tanpa mendongak. Hingga mereka dipaksa mengakui bahwa aku tidak serendah yang mereka pikirkan.

⠀⠀Aku bisa melakukannya, nanti. Perlahan-lahan. Tapi sekarang, yang aku inginkan hanya beristirahat di rumah, bersama boneka Doraemon di kasurku.

⠀⠀Dan kalau bisa sih, juga dengan seorang laki-laki yang bertelanjang dada. Itu pasti akan sangat meningkatkan mood. Terutama, that one particular man… yang tidak mungkin bisa ku dapat, omong-omong. Hanya bisa kulihat di imajinasi.

⠀⠀Jadi, bayangkan betapa terkejutnya aku saat memarkir si Macan di ruko, hanya untuk melihat laki-laki dalam imajinasiku sedang berdiri di depan pintu, melipat lengan sambil tersenyum miring.

Notes
Chapter selanjutnya nanti agak 21+ jadi mohon kebijakan masing-masing gaisss 😌🙏✨

The VillainWhere stories live. Discover now