2. Jangan Cari Cinta Disini

817 91 28
                                    

DUA
Jangan Cari Cinta Disini

"No me hablen de amor,
Eso a mí no me interesa.¹"

Mala Santa, Becky G

⠀⠀"Good morning, Ar."

⠀⠀Aku membuka mata perlahan, menemukan sosok tinggi yang berdiri di depan meja rias, sedang mengancingkan kemeja biru tua yang memeluk tubuh berototnya dengan sempurna. Aku tersenyum tipis. Pemandangan yang indah untuk memulai hari. "Hai. Berangkat sekarang?"

⠀⠀"Yup." Gian mengangguk, sekarang mengalungkan dasi dengan asal, lalu meraih tas kerjanya di atas kursi. Ia menghampiriku, memberi satu kecupan di bibir sebelum menegakkan diri. "Thanks for last night. You're amazing, as always."

⠀⠀"Mm. You too," balasku, "hati-hati di jalan."

⠀⠀Gian memberi tanda ok dengan tangan, sebelum berlalu dari kamar. Meninggalkanku yang masih tanpa busana di balik selimut. Aku meregangkan tubuh, merasakan nyeri di beberapa titik, terutama pinggang. Sepertinya aku terlalu bersemangat tadi malam, kalau pinggangku sampai senyeri ini.

⠀⠀Handphone yang kuletakkan di atas nightstand bergetar lagi, dan aku meraihnya, hanya untuk mengumpat pelan. Manusia bernama Ammar Fahriza itu benar-benar tidak punya kapasitas otak yang cukup untuk memproses kenyataan bahwa dia sudah ditolak, ya?

⠀⠀Cepat-cepat aku memblock nomor laki-laki itu. Laki-laki yang seharusnya hanya seorang klien, tapi ternyata dia punya ketertarikan lebih padaku. Hanya butuh beberapa kali pertemuan, dan dia sudah berbusa-busa menjanjikan segalanya. Cinta, pernikahan, kehidupan yang mapan, anak-anak yang lucu. Segala hal yang tidak aku butuhkan.

⠀⠀Yang kubutuhkan itu, hanya seseorang seperti Gian tadi. Teman untuk berbagi lendir di malam hari, tanpa ikatan apapun. Yang penting ganteng, sedap dipandang, dan enak. Hanya itu bentuk yang aku perlukan dari laki-laki. Sisanya, aku tidak melihat apa fungsi mereka dalam hidupku kalau menyangkut hubungan seperti pacaran dan pernikahan.

⠀⠀Jangankan fungsi mereka, untuk apa orang pacaran dan menikah saja tidak masuk ke otakku. Mengikatkan diri pada sesuatu yang mengancam kebebasanku adalah mimpi buruk. Sangat, sangat buruk.

⠀⠀Aku beranjak turun dari tempat tidur, lagi-lagi mengumpat saat merasakan sesuatu mengalir dari sela kakiku. Ampun deh, Gian. Banyak banget! Kusambar tisu dari atas nightstand, membersihkan diri sebisanya. Percuma sih, karena aku tahu di dalam sana masih banyak. Bibit-bibit yang akan membentuk Gian kecil di perutku kalau saja aku tidak memakai IUD.

⠀⠀Rasanya aku ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang telah menciptakan alat kontrasepsi.

⠀⠀Aku berdiri, beranjak ke kamar mandi. Menatap bayanganku di kaca—rambut merah yang berantakan, bekas-bekas kemerahan di leher dan dada. Tidak masalah, yang penting aku puas tadi malam. Dan tentu saja, kepuasan akan membuat mood jadi lebih baik.

⠀⠀Jadi, aku mandi sambil mendendangkan lagu-lagu BTS, mencuci rambut dan tak lupa memakai color conditioner untuk menjaga warna merahnya, lalu beranjak keluar dan berpakaian.

⠀⠀Sudah beberapa bulan ini aku tinggal di lantai tiga ruko, yang kusulap menjadi apartemen mewah versi Ardhanareswari. Didominasi warna putih, biru, abu-abu, dan khusus kamarku—dongker. Dengan satu kamar utama, satu kamar tamu, satu ruang tengah yang cukup lebar untuk berbagi space dengan meja makan dan ruang jahit, dua kamar mandi, dan satu walk-in-closet, tentu saja aku betah disini. Kadang-kadang saja aku menyempatkan 'pulang kampung' ke rumah Mama di Tanah Abang, kalau sedang rindu keluargaku dan keramaian mereka yang khas Betawi.

The VillainWhere stories live. Discover now