17. Partner In (Not Really A) Crime

230 39 22
                                    

TUJUH BELAS
Partner In (Not Really A) Crime

"I be the Bonnie, and you be my Clyde…"

As If It's Your Last, Blackpink

⠀⠀Aku menghabiskan sehari semalam tepar di AirBnB, hanya bangun sesekali untuk makan, minum obat, dan muntah. Ajaibnya, setiap kali aku membuka mata, aku selalu melihat Chanyeol.

⠀⠀Tadinya aku mengira sedang berhalusinasi, tapi tidak. Dia benar-benar ada. Berbaring di sofa dengan lengan terlipat dan mata terpejam, namun saat aku memanggil namanya selirih apapun, dia akan langsung terjaga dan bertanya apa yang kubutuhkan.

⠀⠀Ketika aku benar-benar bangun dengan tubuh yang lebih segar keesokan paginya, Chanyeol masih berada di sofa itu.

⠀⠀"Yeol?" panggilku pelan.

⠀⠀Dan reaksinya pun sama seperti kemarin. Dia langsung membuka mata, menoleh ke arahku. "Kau butuh sesuatu, Ar-ah?"

⠀⠀"Tidak. Aku hanya ingin tahu kenapa kau ada disini dan bukannya pulang ke rumah setelah penerbangan selama tujuh jam yang pasti melelahkan."

⠀⠀"Bukankah sudah jelas? Kau sakit," jawab Chanyeol, menguap dan bangkit untuk duduk. Sofa itu lebih pendek dari tubuh Chanyeol, sehingga kakinya menggantung saat ia berbaring disana. Pasti sangat tidak nyaman kalau harus tidur seperti itu semalaman.

⠀⠀"Bukankah sudah kubilang bahwa aku baik-baik saja? Kau tidak perlu melakukan ini, sungguh."

⠀⠀"Ar-ah." Mata Chanyeol mengeras, menatapku dengan tajam. "Aku benar-benar ingin tahu kenapa kau selalu menolak bantuan orang lain."

⠀⠀"Tidak selalu, kok. Kalau butuh bantuan, aku pasti minta bantuan. Dan sekarang, aku merasa tidak perlu bantuan."

⠀⠀"Oh ya? Kau tidak perlu bantuan untuk mencarikan makanan, mengambilkan minum, hingga membersihkan muntahanmu saat kau bahkan tidak sanggup mengangkat kepala semalaman itu?"

⠀⠀Bibirku terkatup. Dia benar. "Baiklah, aku minta maaf. Dan… Terima kasih."

⠀⠀"Tidak perlu minta maaf." Chanyeol bangkit dari sofa, menyentuhkan punggung tangan ke dahiku. Tangannya dingin, dan aku memejamkan mata tanpa sadar, merasa nyaman. Saat aku membuka mata lagi, tatapan Chanyeol sudah tidak sekeras tadi. "Sudah tidak panas, syukurlah. Bagaimana perasaanmu?"

⠀⠀"Jauh lebih baik."

⠀⠀"Kau mau sarapan? Semalam aku membeli Kervan. Masih ada sisa sedikit, kurasa cukup untuk porsi makanmu. Aku bisa memanaskannya kalau kau mau," ujar Chanyeol, menyebut nama restoran Turki favoritku di Seoul.

⠀⠀"Aku saja yang memanaskan, aku sudah—"

⠀⠀"No!" potong laki-laki itu cepat, "Ar-ah, tolong. Cobalah untuk terbiasa menerima bantuan, oke? Aku temanmu, dan aku membantumu murni karena khawatir. Jangan merasa berhutang atau takut."

⠀⠀"Easier said than done," gumamku.

⠀⠀"Setidaknya, dicoba saja." Chanyeol mengangkat bahu, sebelum cepat-cepat menambahkan, "tapi aku tidak sedang mengaturmu, sungguh. Ini hanya saran."

⠀⠀Bertumpu pada siku, aku bangkit dan duduk di atas kasur, mendongak pada Chanyeol. "I'm a difficult person, right?"

⠀⠀"Very, very difficult person." Ia mengangguk, menyetujui. "Tapi aku paham alasannya. Kau hanya menghargai kebebasan di atas apapun."

The VillainWhere stories live. Discover now