16. The Prince vs The Pauper

178 37 2
                                    

ENAM BELAS
The Prince vs The Pauper

"I wake up early every morning and I'm busy all day
I don't even eat a proper meal, but I do this because I like it
The money may be little but it's from my own sweat."

I Don't Need A Man, Miss A

⠀⠀"Ini aku udah masukin plastik semua ya, polanya juga udah di plastik." Aku menepuk tumpukan plastik berisi bahan di atas meja. "Gamteknya juga, tinggal dikerjain aja. Punya Pak Frans sama Bu Hotma duluan, baru abis itu lanjut punyanya Fransiska."

⠀⠀"Pak Frans, Bu Hotma. Fransiska. Oke." Nuri manggut-manggut, mencatat di notes. "Kak, sebelom berangkat masih sempet cek invoice gak? Eh, nanti aja deh, kalo gituan kan bisa dimana aja, ya."

⠀⠀"Iya, itu nanti malem deh." Aku menyentuh dahiku sendiri. Agak panas. Dari kemarin, aku memang kurang enak badan, tapi memaksakan diri lembur untuk drafting pola-pola yang akan dijahit. Mengingat aku akan ikut SaSe ke Korea selama dua minggu untuk wedding prep, tentu aku harus menyelesaikan semua pekerjaan dua minggu itu lebih dulu. Rasanya otakku seperti diperas sampai kering, tak henti berpikir untuk membuat pola.

⠀⠀Dan mirisnya, masih ada orang-orang yang menganggap fashion bukan sebagai bidang serius. Rasanya aku ingin mencekoki mereka semua dengan film The Devil Wears Prada. Kelihatannya memang kami, pekerja fashion, adalah orang-orang berotak kopong, tapi percayalah, we're breaking our legs doing this work. Gak ada yang main-main dari pekerjaan ini. Semua ada bidang keilmuannya.

⠀⠀Aku menghembuskan nafas keras-keras. Sejujurnya, aku sedikit emosi karena bertemu orang seperti itu saat appointment tadi. Sepasang calon pengantin yang akan membuat jas dan gaun resepsi. Terlihat sekali bagaimana calon pengantin prianya menganggapku dangkal dan bodoh hanya karena aku seorang fashion designer. Dia sampai merasa harus menjelaskan berulang-ulang tentang konsep Art Deco yang digunakan untuk pernikahan mereka. Itu baru berhenti saat aku menatapnya dengan dingin di mata dan mengatakan bahwa aku punya gelar Sarjana Seni. Kata 'art deco' sudah menjadi bagian dari obrolan santai mahasiswa sambil makan nasi kuning di kantin FSR IKJ.

⠀⠀"Kalo nanti ada slot buat ngerjain yang lain, bikin punya Marcellio sama Yasinta. Polanya kan gampang, jadi kamu aja yang drafting ya."

⠀⠀"Eh?" Mata Nuri melebar. "Serius, Kak?"

⠀⠀"Serius. Pola kamu udah lumayan, kok. Jadi nanti dicoba aja, gapapa," anggukku, kembali mengecek kertas timeline yang sudah kubuat dan ditempel besar-besar di pintu ruang finishing agar mudah dibaca semua orang. "Pak Man kayaknya bisa deh ngerjain salah satunya nanti. Doi kan cepet banget tuh ngejaitnya, diam tapi sat-set-sat-set."

⠀⠀"Oke, Kak!"

⠀⠀"Terus jangan lupa sering-sering ngecek Pak Dedi. Dia suka gak ada suaranya. Tidur apa pingsan kan jadi gak ketahuan." Aku mengedik ke pintu gudang yang tertutup, mengacu pada pembordir-ku yang memindah mesin dan mejanya ke gudang, ngotot bekerja di dalam sana karena lebih tenang. Mengingat betapa berisiknya para penjahit—Pak Kardi dan gengnya, aku sih tidak heran.

⠀⠀"Sip! Pak Dedi mah aman selama ada sohibnya, Pak Adi." Nuri mengacungkan jempol. "Kak Ar abis ini mau langsung ke rumah Kak Sas?"

⠀⠀"Iya, itu udah nurunin koper."

⠀⠀"Jangan lupa makan ya, Kak. Sekarang aja muka Kak Ar udah pucet banget. Bawa obat, kan?"

⠀⠀"Tenang aja, Nur." Aku menahan senyum. "Kamu ternyata bawelnya lebih-lebihan Mamaku, ya? Mama aja cuma nitip baekkimchi segentong pas tau anaknya mau ke Korea lagi."

The VillainOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz