⊱┊A―19

375 47 12
                                    

TEGAK raga yang lenggana, kedua pundak mesti ditahan kasar-kasar untuk tetap berteguh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TEGAK raga yang lenggana, kedua pundak mesti ditahan kasar-kasar untuk tetap berteguh. Bahana yang baru saja merangsang auditori dengan fakta pembongkaran. Turut disertai pembuktian eksak barangkali, walakin yang terjabar atas apa yang ditunjukan bukan semaja untuk Jean tepis. Potret kirana Lee Jina, katanya. Memiliki kemiripan seratus persen dengannya. Rupa sama. Kendati bisa saja itu dimanipulasi. Ya, akan tetapi, Jean tidak sepintar itu untuk memiliki pemikiran yang memberontak.

Kim Taehyung bertegap di belakang, cengkeraman pada pundak yang ringkih ketat tak ambil peduli akan rintih dan tubuh yang terus akan limbung berulang-ulang kali.

“Sayang, Lee Jean tidak akan pernah menduga jika ia memiliki seorang kakak yang mendedikasikan seumur hidupnya hanya untuk melindungi tanpa dikenal.” Daun cupingnya gemetar, bibir yang keluarkan bahana itu nyaris menyentuhi.

Konstelasi nyenyat terdominasi oleh sang lelaki, dan Jean, nyaris tak keluarkan suara bertanya lirih. “Ka-kak ...?”

Hm. Kakakmu yang mengorbankan diri supaya kau tetap bernapas. Kau tahu dia? Tentu saja tidak!”

Ada benderang yang seolah menghunus hingga ulu hati. Nyaris, Jean dilumpuhkan dengan adanya kenyataan. Jelas, apa yang ia lihat saat ini; sebuah figura besar terpasang, dengan isinya tentu membuatnya kelabakan bingung. Kendati adanya relasi pernikahan diantaranya dengan Taehyung, tetapi pengantin wanita di sana bukanlah ia. Jean tidak merasa pernah mengambil gambar sebahagia itu, bersama Taehyung.

Sekonyong-konyong, raganya diseret menuju lemari rendah di sebelah ranjang, ada banyak figura kecil diletakan acak. Jemari gemetaran itu mengambil salah satunya. Maniknya menelisik, amati penuh kuriositas. Lagi-lagi gambar di sana memang serupa dengan romannya, seratus persen mirip, barangkali sebab hanya menyorot pada wajah entah dengan perawakan.

Jean terus kebingungan, ranum getar yang berujar lirih, “A-yah dan ibu, mereka tidak―”

“Membahasnya? Kau ingat pada kalimatku, ‘berhenti menangisi kebohongan pada kehidupanmu’. Aku tidak akan membunuh mereka jika sedari awal mau menyerahkanmu.”

Tangis. Hanya itu sebagai tanggapan. Sekarang Jean sedikit tahu mengapa dahulu hidupnya tidak dibebaskan. Kendati ia tetap menikmati sebab afeksi orang tua Limnya terasa tulus. Jean tidak pernah mempermasalahkan mengenai hal itu. Ia senang, ia bahagia dan Jean diperlakukan selayaknya tuan putri. Jean dilindungi, ia terlindungi begitu baik. Hingga pada detik pengusirannya ... itu sebagaimana pengakhir tamengnya lenyap.

Pada limitasi gerak dengan raga kembali dihimpit, punggungnya terhantam bersandar dan terkena kenop pada rak-rak lemari kecil yang hanya bertinggi kisaran delapan puluh senti meter itu. Jaen meringis dan jaraknya menipis. Netra berputaran hindari sang lawan. Sejatinya, Jean tetap persisten menjadi si nelangsa. Dan Taehyung sang kuasa di segala fragmen. Kain penutup daksa kembali rebak pada bagian dada. Tidak lagi. Jangan lagi. Gelengan masif sebagai bentuk penolakan, Kim Taehyung mana mungkin peduli. Tetap lakonkan aksi melecehkan, memaksa, menyentuhi kasar. Jean harus kembali menjadi si kelinci putih yang menurut. Ada karsa minim yang tak biasa, Jean memberontak hendak hantamkan figura pada tangan yang lekas tercekal mudah. Taehyung lantas umbarkan seringaian merajai. Meletakan kembali figura di atas lemari dengan hati-hati; ia lebih takut melukai figura ketimbang si person nelangsa dalam kungkungannya.

“Ada hal krusial yang mesti kau ketahui.” Taehyung kembali memulai pembahasan utama mengapa ia harus mengeluarkan Jean dan membawanya pada ruang kamarnya yang bahkan ia tidak mengizinkan seorang pun untuk menjajahi.

Sejumput kecil keberanian, Jean dongakan sedikit jemala guna tatapi sang lawan bicara. Getar semakin kentara begitu kedua pundaknya dicengkeram kuat-kuat dan lini pandang menyatu pada jarak yang minim. Redup dan senyap terjadi sesaat. Kim Taehyung begitu mendalami lakonnya, dominansi hingga ruangan terasa dingin dan panas bersamaan. Jean remat busana bagian dada yang telah dirusak, mencoba menyatukan dengan remasan tangannya yang lemah. Ia bahkan merasakan cepatnya jantung bergerak memompa di dalam sana. Berdebar-debar belingsatan. Sebab, demi Tuhan, Kim Taehyung dengan angkaranya amat menakutkan hingga selalu buat romannya memucat pasi. Tidak lagi. Jangan lagi. Ia masih belum mampu menerima segala perlakuan buruk lagi. Raganya hasai; lebih dari pada itu. Raganya remuk; lebih dari pada itu. Napasnya tersendat susah payah.

Hal krusial macam apa?

“Identitasmu.”

Kendati sulit mencerna, Jean telah memasang pendengaran dengan saksama. Dan selanjutnya, ia menunggu Taehyung melanjutkan bahana. Jean imbesil, itu sebagai fakta. Tatkala Taehyung menyerukan fakta-fakta, tak ada keraguan dan Jean lekas mempercayai tanpa ada dugaan dalam kepala yang sekadar melintas. Ia terlalu mudah mempercaya. Meski faktanya Taehyung memang tidak tengah berbohong atau memanfaatkan kebodohan si perempuan. Taehyung hanya ingin menyalurkan kemurkaannya, dan Jean menjadi tempatnya yang pas.

“Lim Kyung dan istirinya, mereka hanya pelayan yang diberi kepercayaan untuk membawamu pada kehidupan baru. Dan apa kau tahu, tidak ada yang bisa menentang takdir sekali pun kau berkeinginan besar menghindar atau seberapa banyak orang terlibat sebagai pencegahan―”

“Menurutmu, mengapa aku mengejarmu?” Pertama.

Tiada bahana balasan, binar netra nelangsa menatapi Taehyung dengan ranum yang getar. Untuk kali ini si lelaki tidak semena-mena memaksa menuntut jawaban.

Ada sekian sekon yang menjeda.

“Menurutmu, mengapa aku tidak langsung saja membunuhmu?” Kedua.

Tiada bahana balasan, Jean selayak orang linglung. Kemudian netranya belingsatan kesana-kemari. Napas yang kian memburu. Spontan, Taehyung dapati cengkeraman kencang yang lemah pada kedua lengannya.

“Aku ... aku ... siapa aku―tolong, tolong katakan, siapa aku?” Acak. Kacau balau. Tangis. Serta tuntutan jawab yang memaksa. Bukan, bukan semacam ini reaksi yang Taehyung ingin.

Cengkeraman yang lepas, ujung-ujung telapak kecil yang awalnya berani membelebat lengannya itu sekonyong-konyong raih kembali figura yang sempat ia letakan. Ada diktum acak membahana berulang-ulang. Seharusnya, Lee Jean jatuh terduduk bersama tangis; itu yang Taehyung harapkan.

Kelincinya hanya mesti terkapar, tanpa suara acak yang terus-menerus memberisiki.

Taehyung menyeretnya untuk ditindih di atas ranjang. Ada karsa, Jean menendang-nendang udara yang lekas Taehyung tahan dengan kaki. Tangannya pegang figura berisi Jina itu erat-erat. Tidak lagi. Jangan lagi. Jean bergerak acak sembari tuntut kebebasan yang pun hanya sebuah percuma.

“Hanya ada dua pertanyaanku, dan satu jawabannya. Kau tahu, itu adalah Jinaku.”

[𝐭𝐨 𝐛𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝]

[A/n] adakah yang masih menunggu perjanjian? maaf aku menghilang lama.

Karna kurasa bagian ini enggak perlu penjelasan, tapi tetap yang barangkali kurang paham bisa bertanya aja...

Sampai jumpa di bagian berikutnya^^

Sampai jumpa di bagian berikutnya^^

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝐀𝐠𝐫𝐞𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭 ✓Where stories live. Discover now