⊱┊A―1

3.2K 247 88
                                    

「BLACK ROSE」

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BLACK ROSE」

SUATU kuriositas baru. Berujung telempap beranikan diri menyentuh secara kehati-hatian. Dan netra bermanik hitam, selayak terpaku sembari kejap amat lambat mengamati di hadapan; setangkai bunga mawar hitam yang tertanam tegak tanpa cabang pada pot tanaman kecil. Seperti baru diberi penglihatan asing pada umumnya; tunjukan impresi terpesona, dan atau terkesan. Ini kali pertama ia jumpai mawar jenis lain. Eksistensi si hitam terimpit bunga-bunga kecil bercabang, serabut seperti akar. Hal itu barangkali yang mencegah ia menemui si kecil bunga berkelopak hitam dengan badan berduri ini, dari semenjak pagi tadi; waktu awal-awal mulai diizinkan bekerja sebagai pegawai pengganti. Kendati hanya satu hari, suatu keberkahan sebab kebutuhan diri mulai bertandang mengeroyok. Dan demi Tuhan Sang Pencipta Alam, pengalaman bersosialisasinya pun nol persen, tiada modal.

Arkian, tatkala denting bel di atas pintu masuk berbunyi, pun sentakan diri begitu terkejut membuat duri pada pinggiran oval daunnya melukai jari telunjuk, dan tangan kirinya menjatuhkan pot bunga lili di belakang tubuh ketika menggeser hadap. Desisnya lirih, disusul sang pemilik toko tersebut memanggil sembari menghampiri. “Apa yang kau lakukan,”―Bibi Shin menyusulnya berjongkok untuk membantu mengemasi tanah yang buyar setelah meraih pot cadangan di bawah rak terbawah―“kau membuat tanganmu berdarah. Sudah-sudah, bersihkan tanganmu dan ambil plester di rak samping meja kasir,” lanjutnya, dan kemudian tangan berkulit keriputnya mulai menyerok tanah untuk dimasukkan ke dalam pot baru.

Berniat abai sebab tak enak hati membiarkan sang tuan toko justru mengatasi kekacauan yang dibuat pegawainya ini, alih-alih dibiarkan membantu, tangan justru ditepis dan dorongan pada punggung membawanya mau tak mau menuruti perintah. Lim Jean tidak seharusnya berlaku ceroboh.

Sehingga, bukan tanpa sebab mengapa perangai Jean begitu gugup menghadap Bibi Shin yang masuk dan duduk di balik meja kasir. Desahannya kentara, serta merta kulit wajah yang telah mengalami penuaan sebab umurnya, memperlihatkan raut lelah. Celemek pada tubuh lantas dibuka dan ditaruh secara tenang di meja kasir sebagai penengah mereka, seperti terinstruksi otomatis gerakan Jean mengikuti. Diliriknya jam yang menggantung dengan detik-detik tiada henti itu, turut sorot bias senja pada dinding kaca sampingnya―memperlihatkan hari mulai petang, dan waktu pulang sesuai ketentuan awal.

“Sayang sekali aku tidak bisa memperkerjakanmu lebih lanjut di sini.” Bibi pemilik toko tersebut lagi-lagi mendesah kentara. Dan itu membuat Jean mengecil takut; atas pertunjukan sebelum mereka saling menghadap serupa ini, mengenai pot bunga lili yang pecah pasti membuat kerugian. “Terima kasih telah meringankan pekerjaanku untuk hari ini. Rupa-rupa kau banyak mengenali bunga selain si mawar hitam itu.” Membenarkan dengan anggukan ragu-ragu; bunga ialah salah satu kecintaannya, tetapi senyum keceriaan si bibi yang rupanya tidak luntur terbawa waktu itu membuat hati sedikit lebih rileks. “Dan ini upahmu,” lanjutnya sembari menyodorkan satu lembaran uang.

“Ada apa?” Bibi Shin bertanya sebab masih belum temui jawaban; kendati sebatas tindak penerimaan. Setelah menggeleng, Jean raih lembaran tersebut dengan ungkapan rasa terima kasihnya telah diperkerjakan.

Langkah kaki menepak keluar terhenti di pelipir jalan hendak menyeberang. Namun, seruan Bibi Shin yang tergopoh menghampiri, juga pot berisi mawar hitam itu sekilat beralih pada genggamnya. “Bawalah.” Begitu yang dikatakan Bibi Shin. Tiada obrolan lain, wanita tua itu langsung berbalik dan kembali.

Tatkala pijak telah sampai di seberang, dilihatnya sepintas toko bunga tadi di mana sang pemilik tengah kerepotan berkemas menutup toko. Kendati membutuhkan, Bibi Shin tidak menginginkan bantuan. Dengan rasa merelakan bahwa besok tidak bisa kembali ke tempat itu lagi, kaki lanjut berayun menelusuri trotoar, melewati toko-toko yang buka hingga malam dan mereka mulai menyalakan lampu, juga jalanan beraspal telah tersorot lampu-lampu dari kendaraan yang lewat. Dipeluknya erat pot bunga mawar dengan langkah memerhatikan sekitar juga tetap fokus. Huniannya masih berkilo-kilo meter jauhnya. Beberapa hari lalu sempat ia tidak menemui jalan pulang, dan dalam tiga hari ini mulai mengapalkan. Jean berjalan lebih jauh, dan itu tidak sia-sia dengan hasil yang didapat. Disela langkahnya, disempatkan diri menandangi rumah makan, begitu jarak dengan hunian telah dekat, memesan beberapa menu yang cukup untuk dibelanjai.

Begitu pintu flat terbuka, gelap menyambut disusul tindakan utamanya meraih sakelar lampu. Ditaruh sekantong makanan juga pot berisi mawarnya di atas meja kecil di tengah ruang. Setelah membutuhkan beberapa menit untuk membersihkan diri, ia siap menghadap meja. Dan mulai dikeluarkan isi kantong bawaan.

Menjelang tinggalnya yang ke satu bulan, tiap-tiap santapan masuki rongga mulut dan tatkala ditelannya begitu sulit. Tangis selalu berhasil mencegat. Bukan suatu hal yang pantas untuk mudah dilupakan. Pengusiran secara mendadak dari orang tua yang penyayang jelas meremukkan jiwanya yang lemah lembut. Jean tidak pahami apa maksud ia diperlakukan demikian di penghujung umur mereka―yang ketika minggu pertamanya sampai di pertengahan kota ini, ia memilih kembali. Namun, fakta bila keduanya telah hancur bersama puing-puing bangunan rumah, Jean tidak lagi memiliki harapan apa pun. Sendirian, tertinggal, begitu putus asa.

“Ini, pakailah untuk menyambung hidupmu sementara. Dan pergilah sejauh yang kau bisa. Jangan menyusahkan Paman sebab inginmu tetap tinggal, Ayahmu memercayaiku untuk melarangmu kembali. Pergilah yang jauh, Jean. Kau harus tetap hidup!” Dan perkataan sang paman demikian itu, mengecoh Jean untuk terus melanjutkan perintah akhir. Kendati pun, ia tiada pahami apa alasan yang menjadi basis hal tersebut harus dilaksanakan.

Satu suapannya tertelan amat pelan dan mendesak di tenggorokan. Jemarinya memegang sendok gemetar, dan tangis meluncur suka rela. Ditatap si hitam di atas meja, durinya yang menyakiti, tetapi begitu cara ia mempertahankan diri. Mawar hitam bisa dikatakan memiliki arti duka, kelihatannya saja sudah kelam. Tetapi pula dapat bermakna keberanian serta kekuatan. Itu perkataan Bibi Shin. Sebelum ia benar-benar pergi.

“Aku tidak seberani-nya, bahkan tiada miliki pelindung bagi diriku sendiri.”

Predestinasinya kelewat sempurna sebelum ini; banyak dilimpahi kasih sayang, dipenuhi cinta dan perlindungan yang kokoh. Dan mendadak mengalami perubahan konstelasi hidup yang kontras, hampir-hampir meregang nyawa. Sebab sungguh, Jean tidak miliki alasan untuk bertahan, satu bulan ini saja begitu sulit. Rasanya, Sendirian terlalu menakutkan ....”[]

”[]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝐀𝐠𝐫𝐞𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭 ✓Where stories live. Discover now