⊱┊A―12

1K 115 50
                                    

「A COUNTER ATTACK」

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

「A COUNTER ATTACK」

DESAK paksa, deru napas terbirit-birit, dan jantung berdetak abnormal. Tubuh melekat, tercampur bersama-sama.

Telah menjadi kelikat prominen bila gadis nelangsa itu tolol. Dan Kim Taehyung tanpa perlu susah-susah untuk mengabolisi segala perlawanan yang bisa dilakukan kelicinya. Minat dasar hanya untuk pewaris-hanya itu. Namun, dasarnya Taehyung ini memang senang berbalas budi. Keadaan diubah menjadi neraka penyiksaan.

Likuid bening menetes berkat pedihnya hati yang tak terkira. Kenyataannya, Taehyung tidak pernah main-main dalam publikasikan kalimat. Sudah sepantasnya Jean mati saja dari awal. Raga telah rusak parah. Sebab tidak bisa lagi melawan―dan dasarnya tidak pernah bisa, sejak awal. Akan tetapi, sekali lagi, fakta bila Kim Taehyung ini memang senang berbalas budi. Bibir dibuat berdarah-darah bersama cumbuan yang kasar. Surai teracak menutupi bantalan kepala, dan dada hampir dipenuhi jejak menjijikkan. Kedut masih terasa di pusat tubuh sana, entah sudah seberapa banyak cairan pria itu mengotori. Jean laiknya korban pemerkosaan yang berpasrah digagahi.

Tanpa berjeda lama permainan siksa itu dimulai kembali. Dan rintih lirih mengudara seperti kidung penyiksaan. Dengan sergap Taehyung membungkam menggunakan telapak tangannya. Alih-alih pilih pemberontakan yang akan tuai sesuatu lebih menyiksa, maka opsi terakhir Jean ialah pasrah menerima guncangan pada raganya yang lunglai, hingga genggam tangan di pembungkus tilam semakin mengendur.

“Ingin tahu hal apa yang paling aku benci? Ketololan. Tetapi tidak kumungkiri jika bodohnya dirimu, seperti kelinci yang ketakutan saat dimangsa―hal itu memudahkanku. Lee Jean, kau hanya harus patuh seperti ini.” Dan bodohnya Jean memang seperti kelinci, Kim Taehyung benar. Dan Taehyung layaknya si pemburu. Mengejar, tanpa lelah untuk memangsa. “Diam, dan terima saja takdirmu.”

Begitu bekapan lepas dari bibir, dan mendapatkan oksigen gratisnya kembali, Jean termegap bernapas. Tangan Taehyung terlalu rapat menangkup sumber keluar masuknya udara. Jean kembali menggigiti bibir kuat-kuat dengan tubuh melengkung hendak pada pencapaiannya untuk ke sekian kali. Peluh meluruh dari dahi tanpa sekatan. Jean risi, ingin membenahi diri sendiri yang sudah bermandikan keringat, tetapi raga tak sanggup. Taehyung terus mengungkung, menghujani sentuhan ngeri pada tubuh, alih-alih cumbuan lembut, pria itu lebih banyak menggigit dengan sesapan kuat pada tiap jengkal kulit Jean.

Tangis seperti sudah habis. Ia merebah tergeletak pasrah dengan koyakkan dalam diri semakin membuatnya berkedut kembali. Kim Taehyung, si pemangsa buas ini, apa pria itu tidak merasakan lelah sedangkan tetesan keringat beberapa kali menetesi; bawah mata, pipi, dahi, hidung, bahkan bibir Jean? Ia diam, laiknya kelinci putih yang manis. Taehyung benar. Dan panggilan itu, tidak serta-merta sekadar umbaran. Jean memang layaknya seekor kelinci, mangsanya Taehyung yang pendiam.

Kelincinya meredup, dan Taehyung terus bergerak belingsatan di bawah sana, mengejar pelepasan lagi dan lagi. Manik sayup tak lagi menatap, terkatup seperti kuncup bunga tanpa penyinaran, Kim Taehyung tak pedulikan. Kelincinya merebah di bawah kungkungan tanpa gerak apa pun lagi. Bahkan remas-remas kecil pada kain seprai benar lepas dengan hasil kerutan bekas genggaman tangan selemah bunga tanpa penyiraman. Kim Taehyung tak pedulikan, tetap pada tumbukan menghancurkan. Hingga akhirnya sampai, menemui titik di mana dirinya benar-benar terpuaskan dan hanya perlu menunggu akan hasil.

Tubuh tegapnya turun, meraih kain miliknya yang sempat ia lempar sembarang. Menatapi Jean telah selayak mayat tergeletak tanpa kain penutup di atas kasur―lelaki bajingan ini hanya melihati tanpa mau bergerak untuk sekadar memberikan selimut, atau barang secuil kain.

Taehyung hanya menatapi dalam tegaknya kaki di atas lantai. Pandangnya yang tajam tersorot tanpa mendapati balasan dari manik ganda berbinar pudar itu lagi.

Apa yang bisa kulakukan untuk dapatkan senyummu kembali?

Sejumput kerinduan dalam wadah kebersamaan yang luas. Kim Jungkook memang benar, bahwa Kim Taehyung hanyalah seorang pengecut. Predestinasi menyatukan hati sebagai sumber malapetaka. Awalnya mudah, membina kebersamaan semenjak kehidupan awal-awal. Semenjak tangis bayi masihlah menjadi pribadi keduanya.

Ji, jawab aku.” Taehyung menggenggam tangan terjerat besi berhubung itu. Mengelusnya dengan roman bersalah menatap.

Entah senang atau miris menerima balasan dengan binar sendu begitu, dan kemudian jawaban dari sana didengarnya turut menyakiti hati, “Tidak, tidak ada, selain kehadiranmu.” Kemudian Taehyung bersama keinginan penuhnya memeluk erat. Bunyi peraduan besi mengusik tanpa dipedulikan. Borgol bukan lagi penghalang untuk menyalurkan afeksi bersama-sama kendati minim.

Ayah akan marah jika melihatmu kemari. Pergi, pergilah Taehyung.

Tidak peduli. Taehyung masih ingin mendekap. Seperti ini, kencang, membawa gundah perlahan mengikis, dan diri kembali menghangat. “Ini salahku. Ji, maafkan aku. Kumohon ... maafkan aku.

Ini hukuman untukku, biarkan saja. Ayah pantas jika marah, dia menunggu kehamilan ini sangat lama. Delapan belas tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu, ‘kan?” Melepas paksa dekapan pada tubuh, ia lekas mendorong ringan agar raga si lelaki menjauhinya. “Pergilah, aku harus melindungi adikku.

Pilu itu hadir. Jejak rasa sakitnya hati, mengubah diri menjadi penuh angkara. Muak. Taehyung terlampau muak pada predestinasinya yang penuh malapetaka ini. Kisah lampau seperti serangan iblis. Menyerang bagai bara api yang membakarnya dalam kedinginan pilu.

Kim Taehyung kedinginan, mutlak membutuhkan peluk raga yang menghangatkan jiwa. Kedinginan di balik berkobarnya kemarahan dalam jiwa. Taehyung muak, sungguh. Takdirnya yang berujung malapetaka, menghancurkan segenap impian, kendati hanya seukuran kerdil.

Lima menit itu, kaki berpijak pada pusat tanpa gerak. Pada lima menit yang sama, perasaannya menguar ke mana saja-berkeliling seperti udara, kosong. Dan di lima menit tersebut membawa hawa panas dalam diri tersorot pada satu pusat yang masih ia tuju. Lee Jean. Seharusnya, gadis itu tidak pernah hidup sampai detik ini.

Kemudian, langkah diam tersebut menggesek dinginnya yang menguar dari permukaan lantai. Menuju pada pintu, tanpa harus merasa iba―yang mungkin tidak pernah lagi dimilikinya, perasaan semacam itu. Tubuh tegapnya lekas lenyap termakan pintu. []

 []

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝐀𝐠𝐫𝐞𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭 ✓Where stories live. Discover now