[ Part 44 ] Harapan

En başından başla
                                    

Bisa dibilang Mauren itu sahabat sekaligus moodbooster nya. Nara jadi merasa bersalah karena dulu selalu jengkel dengan Mauren yang banyak bicara. Nyatanya justru gadis itu yang selalu menghiburnya.

"Yaudah duduk aja, yuk, Ra. Pegel nih."

Keduanya pun duduk di kursi yang berada di tepi danau. Sementara yang lain sibuk memanggang, mereka memilih bersua foto, saling bercerita dan bercanda tawa sembari menikmati malam yang indah ini.

Setelah beberapa lama, akhirnya makanan mereka pun siap. Dengan binar bahagia mereka menikmatinya seraya berbincang dan bercanda ria dibawah langit malam ditemani oleh kunang-kunang yang berterbangan.

Senyum dan sorot bahagia itu tak luntur dari kedua mata Nara. Mata yang dulu hanya bisa memancarkan sorot luka yang berakhir meneteskan air mata kini berganti dengan pancaran kebahagiaan.

Kehangatan dan kebersamaan seperti ini adalah hal yang Nara inginkan selama belasan tahun hidup di dunia. Tuhan baru mengabulkannya sekarang, walau bukan dengan keluarga kandungnya Nara tetap bersyukur.

"Adek bahagia?" Nara seketika menoleh saat Deynal membisikkan sesuatu padanya.

"Jangan panggil 'adek', aneh dengernya," balas Nara ikut berbisik.

"Kan lo emang adek gue."

"Ya tapi lo nggak pernah manggil kayak gitu. Jadi aneh dengernya."

"Ta-"

"Apesih woy! Kok lo pada bisik-bisik?" sorak Kenzo kesal seraya mengigit daging panggang.

Deynal tak menjawab, melainkan langsung melanjutkan makannya.

"Tante Afni, Om Gavin, Mauren, Kak Kenzo dan Kak Deynal, makasih atas semuanya. Makasih sudah membuat keinginan Nara untuk merasakan kehangatan keluarga kini terkabul. Nara sangat bersyukur mempunyai kalian ...."

"Di saat ayah sendiri nggak pernah tunjukin kasih sayangnya ke Nara, justru kalianlah yang membuat Nara bisa merasakan kasih sayang itu. Nara bahagia," ungkap Nara tulus dengan mata berkaca-kaca.

"Sama-sama, Sayang. Kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Jika kamu butuh pelukan dan sandaran kami selalu siap," balas Afni yang kini memeluk Nara.

Mauren sudah menitikkan air matanya karena memang ia yang paling cengeng. Kenzo yang berada di sampingnya mengusap air mata adiknya itu. Bukannya dengan cara halus, justru ia meraup seluruh wajah Mauren dengan telapak lebarnya.

Plak!

"Abang! Lo jadi kakak nggak ada manis-manisnya!" omel Mauren setelah menampar lengan kakaknya itu.

Mereka lagi-lagi tertawa melihat tingkah adik-kakak itu. Kenzo yang diluar itu sangat dewasa dan berwibawa. Beda lagi kalau di depan keluarga apalagi Mauren. Tingkahnya akan berubah menjadi tengil dan selalu menjahili adiknya itu.

"Muka lo jelek banget kalo nangis. Kayak monyet."

"Abang!" Lagi-lagi Mauren menggeplak lengan Kenzo karena kesal. "Huaaa Daddy masa Mauren dikatai monyet sih! Berarti Daddy sama Mommy juga monyet dong?" rengek Mauren yang kini bergelayut manja pada lengan ayahnya.

"Cuma kamu doang, sih, kayaknya. Soalnya Daddy emang mungut kamu dari kebun binatang," ungkap Gavin yang seketika membuat Mauren semakin meraung.

Dan selanjutnya yang terdengar adalah rengekan Mauren dan tawa mereka yang menggema. Begitupun dengan Nara yang juga ikut tertawa bahagia.

Setelah lelah tertawa, mereka saling berpelukan hangat layaknya keluarga. Ralat, memang sekarang mereka sudah saling menganggap keluarga.

Silence Of Tears (TERBIT) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin