Bab 7 - Kamu yang Bernama Raynar?

362 79 11
                                    


"Saya bersedia menyewakan ruko untuk lima tahun ke depan, tapi dengan satu syarat."

Yanto punya firasat buruk, raut wajah pria berambut putih keabuan itu seperti mengisyaratkan ancaman.

"Kamu harus memecat pegawai kamu yang bernama Jill, apa Jin ...?" Santoso-sang pemilik ruko, tampak berpikir sebentar. "Jill! Saya ingin kamu memecat dia. Bagaimana?" tantangnya dengan tersenyum licik.

Apakah ini termasuk salah satu episode teror untuk menyerang Jill? Yanto sudah mendengar kisah tentang Jill yang tiba-tiba dipecat dari department store dan terusir dari kos. "Kenapa harus memecat Jill? Bapak kenal dia?"

Santoso tertawa keras. "Untuk apa saya kenal dia? Memangnya dia siapa? Dia menyinggung putri teman saya, karena itu harus disingkirkan!"

"Jill hanya seorang gadis belia yang sangat biasa dan sederhana, sama sekali tidak pintar apalagi cantik. Tidak ada yang menarik pada dirinya. Mana mungkin dia bisa menyinggung putri teman Bapak yang pastinya beda kelas?" Yanto mencoba meyakinkan, walaupun seandainya pria bangkotan ini melihat Jill, pasti semua penyakitnya akan sembuh total.

"Ah, saya tidak mau tahu! Kamu mau perpanjangan sewa atau pilih si Jin itu. Terserah kamu dah! Besok sebelum pukul lima, kasih saya keputusan." Santoso langsung bangkit masuk ke dalam rumah, meninggalkan Yanto tanpa basa-basi. Gara-gara si Jin itu, hidupnya yang sangat damai di masa pensiun, lumayan terganggu.

Bagaimana cara menyampaikan ke Jill? Yanto merasa tak sampai hati. Tentu saja dia tidak mempunyai pilihan lain, harus memilih untuk kepentingan orang banyak.

***

Jill yang mendengar persyaratan dari pemilik ruko, menjadi sangat kesal dan geram. Bukan marah karena harus kehilangan pekerjaan lagi, tapi murka karena kali ini wanita itu hampir mengorbankan orang lain hanya untuk menghukumnya. Tindakan yang sangat biadab, sama sekali tidak bisa dimaafkan. Selama itu hanya menyangkut dirinya, dia tidak akan peduli. Tapi kalau sudah sampai melibatkan orang-orang yang memperlakukannya dengan baik, itu akan menjadi catatan khusus.

Tindakan mereka yang mulai lebih berani, membuatnya mengkhawatirkan Esti. Dia tidak akan bisa memaafkan diri bila sampai Esti menderita karenanya. Apakah lebih baik bila pergi menjauh saja? Menghilangkan jejak agar mereka tidak bisa lagi meneror? Mungkin itu jalan teraman untuk semua orang. Ya, dia harus pergi! Suatu saat nanti, dia berjanji akan kembali dan mencari wanita itu untuk membalas perbuatan jahatnya. Sekarang ini, mereka bukan lawan yang seimbang.

"Aku mengerti, Mas Yanto tidak usah merasa bersalah," akhirnya dia bisa berbicara dengan tenang dan tersenyum.

"Maaf, Jill."

"Aku yang seharusnya meminta maaf. Kehadiranku hampir saja membuat Mas Yanto kehilangan bisnis."

"Apa rencana kamu?"

"Pergi menjauh dari sini, belum tahu sih, mungkin keluar Jakarta."

Yanto mengeluarkan sebuah amplop tebal dari laci meja kerja. "Ini, semoga cukup untuk membiayai hidup kamu sambil mencari pekerjaan baru. Kamu bisa menghubungiku kapan saja." Dia menepuk-nepuk bahu Jill yang tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Mas. Maaf sudah merepotkan, aku akan segera berkemas." Jill melangkah cepat menuju ke lantai atas dengan tangan menyeka air mata yang mulai menetes. Baru kali ini dia menangis karena sangat kesal, harus bersabar untuk membalas kekejian. Menjadi orang yang tak berdaya, sangat tidak mudah.

***

Untung saja Esti masuk sif siang, jadi tidak perlu ada drama melankolis melepas kepergiannya. Jill sudah meminta Mas Yanto untuk memberitahukan kepada Esti saat singgah di warkop sepulang kerja nanti. Setelah berpamitan, Jill meninggalkan warkop dengan arah yang tak pasti. Mungkin dia akan mencari motel untuk menginap semalam sambil berpikir dengan tenang akan pergi ke mana.

PARTNER IN CRIMEWhere stories live. Discover now