Bab 1 - My Life Nowadays

1K 109 5
                                    


Suara tawa terdengar merdu dari kamar kos nomor sepuluh yang terletak di bagian paling ujung dari bangunan bertingkat dua yang sudah lapuk termakan usia. Penghuninya, dua gadis belia yang sedang tiduran di atas kasur tipis berukuran lajang, asyik berkhayal sambil menghitung. Dua hari lagi, gaji dan bonus yang bulan ini agak lumayan, akan segera mengisi dompet yang tak pernah terisi penuh.

"Kayaknya gue jadi beli sepatu yang itu, deh. Masih diskon sampai lusa, kan?" Esti, gadis berusia 22 tahun, tampak masih ragu. Tatapannya tertuju ke sepasang sepatu kets yang nyaris berwarna keabu-abuan dari warna aslinya, hitam pekat. Tak terhitung sudah berapa kali sepatu itu jebol karena dipakai untuk segala keperluan. "Tapi, lihat nanti deh! Emak gue biasanya selalu tahu kalau gue punya duit lebih." Wajahnya yang hitam manis, tertawa miris.

"Itu sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendasar. Kasihan sepatu kamu kalau bulan ini harus ditempel lem lagi. Kalau bisa omong, dia pasti akan menjerit-jerit histeris." Jill yang berusia dua tahun lebih tua, membuat Esti tidak jadi bersedih. "Nanti begitu cair, langsung kita beli. Lupakan sejenak Emak kamu. Kalau dipikir tidak cukup, memang enggak akan pernah cukup."

"Iya, sih, kapan nasib kita akan berubah ya?" Tidak mudah untuk merubah nasib bila kamu hanya tamatan SMA. "Lantas, lo mau beli apa?"

Jill mengangkat tangan tinggi-tinggi dan meletakkan di atas kepala sambil menatap langit-langit dengan kipas angin gantung kecil yang hanya akan berhenti berputar saat mereka keluar untuk bekerja. Suara yang ditimbulkan cukup bising bahkan terkadang terdengar horor, bagaimana kalau tiba-tiba saja kipas itu copot dan jatuh menimpa mereka? Apakah BPJS yang disediakan oleh perusahaan tempat bekerja, bisa menanggung pengobatan?

"Jangan melamun, Jilly."

"Jill, bukan Jilly," protesnya sambil menyikut perut Esti. Nama kecil yang masih bisa merusak suasana hati, entah kapan bisa berdamai dengan banyak hal.

"Sori, sori, Miss Jill."

"Jangan ulangi lagi." Tapi Esti malah tertawa melihat ekspresi kocak wajahnya.

"Aku cuma pengin makan mi ayam Pak Tukul, paket lengkap."

"Aduh, Jilly!" Mata Jill yang melotot, membuat Esti segera menutup mulut, keceplosan lagi. "Gue tuh udah bosan banget dengan mi ayam Pak Tukul! Paket eko sama paket lengkap, rasanya sama aja. Bagaimana kalau Pizza Hut? Sesekali kita makan piza yang benaran piza, bukan piza jadi-jadian. Kita pesan personal pizza, masing-masing satu, bungkus, bawa pulang. Minumnya kita beli di Alfa, terus kita makan sambil menikmati langit malam di tempat jemuran." Suara tawa kembali membahana.

"Kamu beli piza, aku tetap setia dengan mi ayam Pak Tukul, paket lengkap. Aku harus lebih berhemat. Gajiku hanya setengah dari kamu dan posisiku juga tidak aman. Kalau ada pengurangan karyawan, aku pasti akan menjadi orang pertama yang dipilih." Baru tiga bulan dia bekerja di department store.

"Itu tidak akan mungkin terjadi! Lo bisa bekerja tanpa persyaratan resmi seperti kami, itu artinya lo spesial."

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Aku harus mempersiapkan diri." Pengalaman telah membuatnya terpaksa belajar dan menyesuaikan diri dengan cepat kalau terus mau mempertahankan pendirian.

"Air mati!" Keluhan putus asa terdengar dari lorong kamar. Esti segera bangkit dan berlari ke pintu. Rani, tetangga kamar sebelah, tampak sangat kesal. Air memang menjadi masalah utama saat ini. Mau memprotes, rasanya sungkan sekali, tepatnya, tidak tega. Ibu kos yang super pemurah dengan harga sewa yang sangat ramah di kantong, membuat mereka harus legowo daripada pusing-pusing pindah mencari hunian baru.

"Kalian sudah mandi?"

"Belum, besok pagi aja."

"Kalian enak, kerja di ruangan ber-AC. Gue dong, dari pergi sampai pulang, keringat netes dari ujung kepala sampai kaki."

PARTNER IN CRIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang