31. Arosa yang Jadi Penengah

158 12 0
                                    

Aku memang tidak berbakat mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus. Terlalu fokus menjaga toko sambil membuat konten untuk PAAZ, otakku jadi terlalu lelah untuk berpikir. Aku jadi mengabaikan revisi skripsi yang selalu kurencanakan dikerjakan pada malam hari. Sementara waktu terus berjalan dan wisuda tinggal satu bulan lagi. Pak Paris juga sudah menerorku lewat sindirannya ketika selesai meeting mingguan.

"Jangan kira setelah selesai ujian skripsi, kamu akan langsung wisuda. Saya tunggu tiga hari lagi revisimu sudah selesai." Dia mengarahkan telunjuknya ke arah layar.

"Tiga hari terlalu singkat, Pak. Aku lagi nggak bisa mikir cepat. Tolong kasih waktu aku seminggu. Aku mohon, Pak," pintaku dengan mengatup kedua tangan di dada. Seiring lebih seringnya kami berkomunikasi karena masalah pekerjaan, sekarang aku jadi sedikit lebih rileks ketika berhadapan dengan Pak Paris.

Pria itu berdecap. "Kamu mau atur saya?" tanyanya dengan suara dingin dan tatapan datarnya.

"Bukan seperti itu, Pak, tapi sekarang saya lagi jaga toko. Makanya belum sempat kerjakan revisi," balasku sedikit memelas. Jujur ini hal sedikit memalukan karena aku dimarahi ketika anak-anak yang lain belum keluar dari meeting room dan mereka menatapku lewat layar sambil cekikikan.

"Itu urusan kamu. Cepat kerjakan revisinya kalau mau cepat wisuda!" serunya sedikit menaikan volume suaranya.

Terpaksa tiga hari ini aku harus menutup toko. Sebenarnya aku mau minta tolong Kak Rani untuk menjaga toko sementara waktu, tetapi Mama melarang karena punya trauma dengan orang terdekat. Dulu waktu aku masih di perantauan, uang hasil penjualan pernah dicuri oleh satu-satunya pegawai kepercayaan yang sudah bekerja selama delapan tahun bernama Tante Sari. Namun, kepercayaan itu dikhianati dengan alasan dia butuh uang untuk menikah. Mulai saat itu, Mama tidak memercayai siapapun selain aku.

Namun, toko masih bisa berjualan lewat online yang sekarang sudah ditangani oleh Kak Rani sebagai admin dan pembayaran semuanya lewat transfer, jadi Mama juga tidak perlu kuatir ketika aku hanya bertugas mengawasi dikala menyelesaikan revisi.

***

"Ros. Revisimu udah selesai?" tanya Azada kesekian kalinya sejak aku selesai ujian skripsi.

"Belum. Kamu mau bantu revisi punyaku?" Aku mengubah posisi tubuh terlentang dan mengambil selimut menutupi kakiku.

"Nggak. Aku mau minta tolong kamu hubungi Helda dong. Bisa nggak?" pintanya dengan suara lirih.

Aku mencibir. "Kenapa harus aku? Masing-masing punya ponsel 'kan. Telepon aja, atau bisa hubungi lewat chat, video call---"

"Bawel. Nomor dan media sosialku diblokir sama dia. Mau stalking pakai akun palsu tapi nggak bisa karena akunnya udah diprivat semua. Tolong hubungi Helda my love ya. Bilang aku lagi meriang--merindukan kasih sayang. Udah hampir di opname karena sakit hati menahan rindu."

Sontak aku tertawa lebar lalu bergidik jijik. Geli banget dengar gombalannya. Pasti kalau ngobrol sama Helda lebih berlebihan lagi. Apa tadi dia bilang, 'meriang--merindukan kasih sayang--Istilah tahun berapa yang dia pakai.

"Aku malas, Kak. Terlalu agresif, posesif, maunya aku hubungi dia terus. Padahal aku di sini kuliah dan tugas yang dikasih dosen tuh nggak kira-kira banyaknya. Mana nggak ada satu pun materi yang masuk di kepala," gerutu Helda ketika aku menghubunginya lewat video call.

Demi teman sekaligus atasan, aku rela meninggalkan deadline revisi skripsi. Sekali-kali menjadi narahubung untuk kedua sahabatku ini agar hubungan percintaan mereka tetap awet.

"Kamu udah coba jelaskan ke dia kalau kamu nggak nyaman kalau dia ngelakuin hal kayak gitu?" tanyaku.

"Belum sih, Kak. Aku udah malas pokoknya. Apalagi sejak kematian Papaku aku jadi nggak punya ketertarikan apapun termasuk pacaran---"

"Helda, papamu meninggal?" Aku memotong kalimat Helda karena baru mengetahui informasi ini. Pantas saja wajahnya sedikit muram dan pancaran matanya sedikit sendu.

"Iya, Kak. Efek setelah sembuh dari covid. Nggak pernah terpikirkan sama sekali dalam hidupku akan kehilangan Papa secepat ini. Waktu positif covid aja aku hampir gila karena nggak tega lihat Papa sendirian di ruang isolasi." Helda diam sejenak dan menunduk sebelum melanjutkan lagi. "Ternyata rasa sedihku waktu itu nggak ada apa-apanya waktu lihat Papa terbujur kaku di peti. Rasanya aku mau ikut Papa aja." Bahu Helda terguncang. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Aku pun ikut menangis terbawa kesedihannya. Paham sekali apa yang sedang dirasakan gadis itu, ketika kehilangan orang yang disayang, apalagi Helda sama sepertiku yang sangat dekat dengan Papa. Waktu itu aku merasa seperti mimpi. Aku menganggap orang-orang yang datang sedang menjenguk Papa yang sedang sakit. Aku menyangkal habis-habisan kalau laki-laki yang jadi cinta pertamaku itu telah pergi selama-lamanya.

Tangisku pecah ketika peti ditutup sempurna. Aku mengamuk, berteriak, bahkan memaki mereka untuk membuka penutupnya karena aku takut Papa akan sesak napas di dalam. Mama sampai turun tangan menenangkanku. Aku sadar sepenuhnya kalau ini adalah kenyataan saat menyaksikan air mata Mama yang mengalir deras lalu jatuh pingsan di hadapanku.

"Sakit banget, Helda. Nangis aja, jangan ditahan. Aku sangat mengerti apa yang kamu rasakan," ucapku setelah menenangkan diri.

"Ada yang nggak mau ngerti. Mereka bilang aku nggak boleh menangis. Dulu waktu tubuh Papa masih bisa aku lihat, orang-orang menyuruhku tak boleh mengeluarkan suara tangis. Sakit banget loh, Kak. Mana bisa aku tahan untuk nggak menangisi kepergian orang yang paling aku sayang."

"Aku juga mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang bilang 'udah, ikhlaskan kepergian papamu' aku nggak bisa ikhlas, Hel. Kepergiannya terlalu mendadak." Air mataku kembali menetes.

Ketika kehilangan seseorang, kata-kata untuk tetap kuat, disuruh ikhlas, bahkan ada yang mengatakan kalau ada maksud Tuhan yang indah di depan sana adalah kata-kata paling terakhir yang ingin aku dengar. Semua kata penguatan itu tak ada artinya ketika kita sedang sedih. Aku lebih suka didengarkan keluh-kesahku atas kesedihan yang kualami tanpa memberi balasan apapun, cukup hadir di sebelah dan menepuk atau memelukku. Itu jauh lebih meringankan.

"Aku turut berduka cita, Hel. Maaf aku baru tau soal ini. Azada juga nggak kasih tau aku sama sekali."

"Aku juga nggak ngomong dia, Kak. Sehari sebelum Papa nggak ada, aku bertengkar sama dia terus kublokir semua kontaknya dan sampai sekarang belum aku buka blokirannya." Helda mengusap wajahnya dan hidung dengan tisu.

"Nanti aku kasih tau dia ya, supaya kasih kamu waktu rehat sejenak ... Mama kamu gimana keadaannya?"

"Mama kurang fit kondisinya sejak Papa nggak ada. Soalnya dari masa pacaran sampai menikah, mereka berdua nggak pernah terpisahkan. Papa dinas keluar kota selalu ngajak Mama. Lihat Mama sedih tuh buat hati aku sakit banget."

Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kehilangan yang berkali-kali lipat dirasakan oleh mamanya Helda. Kisah perjalanan cinta orang tua Helda mirip seperti kisah orang tuaku. Bahkan sampai sekarang Mama masih sering melamun dan punya kebiasaan baru kalau tidur selalu pakai kaos yang dikenakan Papa sebelum meninggal. Baju-baju Papa bekas pakai yang digantung di balik pintu tidak pernah dicuci.

"Temani Mama aja, sering-sering ngajak ngobrol. Biar mamamu nggak merasa sendiri."

Kami saling berbagi perasaan lewat cerita sebagai sesama anak yang kehilangan Papanya. Helda masih butuh waktu untuk memulihkan diri dan sepertinya Azada harus menelan pil pahit kalau hubungan keduanya mungkin tak akan berakhir bahagia. 

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang