5. Arosa yang Kembali Putus Asa

394 29 0
                                    

Aku keluar dari ruangan dosen dua puluh menit setelah Pak Ruslan menanyakan judulku. Beliau sempat marah karena aku mengajukan lagi judul yang pernah ditolaknya. Beruntung aku bisa memberikan alasan yang masuk akal, sehingga pria berkaca mata itu bisa menerimanya.

"Nih, minum dulu."

Pipi kananku ditempeli sesuatu yang dingin begitu melewati ambang pintu ruang dosen. Aku yang jiwanya masih sedikit terguncang, reflek menjerit dan mendapat perhatian dari beberapa mahasiswa dan dosen yang sedang di sekitar tempat itu. Aku menundukan kepala meminta maaf pada mereka, kemudian menoleh mencari siapa pelakunya. Ternyata ulah laki-laki pengacau ini.

"Ngagetin tau gak!" bentakku.

"Diminum! Muka kamu kusut gitu," perintah Azada yang masih menggantung minuman botol digenggamannya.

Aku menyambar minuman itu dan meneguknya sampai habis. Seriusan, aku kehausan akibat banjir keringat sejak detik pertama berhadapan dengan dosen pembimbingku.

"Hasilnya gimana?"

Aku menyerahkan botol minuman kosong kepada Azada.

"Bunuh diri itu dosa gak sih?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.

"Heh, ngomong apa kamu?!" tegurnya dengan mata menatapku tajam. Kenapa dia semarah itu hanya karena pertanyaanku ini?

"Punya kenalan yang jual narkoba? Pusing aku. Cobaan hidup kok berat banget." Aku berjalan keluar dari gedung jurusan menuju perpustakaan.

"Nih anak sakit. Cerita dulu apa yang terjadi dalam!" kata Azada dengan nada perintah yang saat ini memakai jaket parka berwarna merah.

Aku mendengkus menatapnya malas. "Pak Ruslan terima judul yang pernah aku ajukan dua tahun lalu, tapi bab satu perbaikan total. Katanya gak jelas, terlalu banyak penjelasan yang gak penting, terus rumusan masalah dan tujuan penelitian juga salah.

"Tiga hari mendatang, aku harus kembali menghadap Beliau dan menyerahkan bab satu. Coba kamu pikir, menulis latar belakang itu gak mudah. Mulai paragraf pertama aja butuh waktu berminggu-minggu, belum lagi nyari buku untuk jadi referensi. Kalau gak gila, ya bisa mati." Air mataku sudah menetes tanpa bisa ku cegah.

"Ya udah, aku bantu cari apa yang kamu butuh."

"Kita udah janji kalau skripsi jadi tanggung jawab masing-masing," balasku dengan terbata-bata.

"Lupakan perjanjian itu. Sekarang kita masuk ke perpustakaan dan cari materi yang kamu butuh, setelah selesai nangis dulu, biar lega."

"Udah gak nangis lagi. Aku mau pulang aja." Aku terkekeh dan menghapus air mataku.

Baru kali ini aku ketemu cowok yang tidak terganggu melihat perempuan menangis. Kalau Angkasa tiap kali melihat aku menangis, pasti akan mengataiku cengeng, mirip anak kecil atau berisik.

"Kamu pulang terus ngapain? Kita cari materi di perpustakaan, hanya itu satu-satunya solusi," gerutunya.

"Sakit kepala, lebih baik pulang. Mau tidur." Aku memijat pelipis biar dia percaya kalau aku benar sakit kepala.

"Ya sudah, pulang sana! Bodo amat dengan skripsimu, bodo amat dengan Bu Sherli dan Pak Ruslan yang sudah berbaik hati mau mendorong kamu untuk cepat selesaikan skripsi. Aku pergi ke perpustakaan dulu." Dia membalik tubuhnya lalu melangkahkan kakinya menuju perpustakaan.

Kok, jadi dia yang marah-marah? Aneh banget anaknya. Kita ini gak pernah akrab dari semester satu. Ini tiba-tiba berlagak kayak teman akrabku yang sok menasihatiku.

Nah, kali ini dia mirip kayak Angkasa yang suka mengomeliku.

***

"Duh, aku menyerah. Siapa sih orang pertama di dunia yang kasih ide skripsi jadi syarat kelulusan di perguruan tinggi?" gerutuku dengan kepala terkulai lemah di atas meja perpustakaan.

Tadi aku sudah melangkah keluar kampus, tapi di pertengahan jalan sempat berpapasan dengan Bu Sherli. Secara otomatis kalimat terakhir yang Azada ucapkan padaku sebelum dia ke perpustakaan, terngiang-ngiang di kepala. Mendadak aku dilanda rasa bersalah dan membuatku terpaksa berbalik arah menuju perpustakaan menyusul laki-laki itu.

Jadi di sinilah aku berada, Perpustakaan dengan tumpukan buku dan skripsi jilidan hard cover berwarna merah maroon.

"Kamu belum kerja apa-apa udah nyerah. Ayok, semangat," balas Azada yang lebih bersemangat membuka buku dan skripsi.

"Kita pulang yuk. Aku cari orang yang terima jasa kerja skripsi aja." Aku mengangkat kepala dengan gerakan lambat.

"Gak seru pakai jasa kayak gitu. Hanya orang-orang lemah yang pakai jasa itu. Gak ada perjuangan dan cerita suksesnya." Tangannya sedang sibuk menekan tombol power di laptopnya.

Aku berdecak. "Aku gak butuh ciptakan cerita sukses. Gak ada hal yang menginspiratif dalam hidupku."

Azada mulai menasehati aku panjang lebar. Dia mengatakan kalau suatu saat kalau aku jadi orang sukses, bisa jadi inspirasi orang lain terutama buat mahasiswa dengan masa depan suram sepertiku.

Kurang ajar emang, kok benar sih omongannya. Masa depanku benar-benar suram. Aku hanya orang yang selalu jadi beban keluarga yang tidak pantas untuk sukses.

"Aku pernah dengar kalimat motivasi dari seseorang di sosial media, bilang gini 'Jangan pernah kasih titik dalam hidupmu, kalau Tuhan mau kasih koma.' Gak usah mikir masa depan kejauhan, mikir selesaikan skripsi dulu."

Ini anak mendadak bisa bijak gini, padahal dari wajahnya gak ada wibawa sama sekali. Aku masih penasaran, kenapa dia bisa mengakrabkan diri denganku.

Sudah pernah tanya, mau tau jawabnya apa? Dia bilang kalau wajahku ini menggugah sisi manusiawinya untuk menolongku. Emang wajahku kelihatan kayak orang susah?

Kami baru keluar dari perpustakaan pada jam 4 sore setelah diusir oleh pegawai karena sudah masuk berakhirnya jam operasional perpustakan.

Dari jam 11 siang sampai 4 sore, kami sampai melewatkan makan siang demi proposal penelitian skripsi ini. Itu pun aku hanya bisa mengetik lima ratus kata latar belakang.

Punggungku rasanya mau patah. Sudah sangat lama aku tidak bekerja keras seperti ini.

**

"Udah ada jadwal skripsinya belum?" tanya Mama begitu aku menjawab panggilannya.

Aku menjeda sebentar. "Masih ada revisi lagi di bab 4. Dosenku minta aku tambahkan penjelasannya."

"Perasaan dulu waktu Mama kuliah lancar-lancar aja konsultasi skripsi. Kamu kok kayak sulit banget. Dosenmu ada dendam apa sama kamu?" tanya Mama dengan nada sedikit kasar.

"Gak tau, Ma. Tiap dosen 'kan punya standarnya masing-masing, aku ngikut aja. Percaya aja sama aku, semester depan aku udah wisuda."

"Melisa, Marla, dan Fitri baru aja diterima kerja."

Mereka bertiga adalah nama para sepupu yang usianya lebih muda dariku. Mama lima bersaudara, dulu ketiga adik ipar Mama mengandung dan melahirkan mereka bertiga di dalam waktu berdekatan. Jadi, mereka selalu sama-sama lulus sekolah berbarengan dan sekarang dapat pekerjaan pun juga dalam waktu yang bersamaan.

"Wah, sampaikan selamat untuk mereka, Ma," ujarku pura-pura ikut bahagia mendengar kabar itu.

"Nanti Mama sampaikan ... para Om dan Tante kamu senang banget, anak-anak mereka sudah mulai mandiri. Kamu juga cepat selesai biar cepat kerja biar sama kayak mereka."

Aku tertegun sejenak, kemudian menjawab Mama singkat. "Iya."

Akhir-akhir ini Mama sering bercerita tentang keponakannya atau anak tetangga yang sudah sukses. Secara tidak langsung aku merasa di bandingkan dan aku tidak pernah suka dibandingkan.

Mungkinkah Mama sudah mulai lelah denganku yang belum kunjung menyelesaikan skripsi?

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Where stories live. Discover now