6. Arosa yang Menghadapi Revisi Pertama

318 25 1
                                    

"Banyak revisi?" tanya Azada begitu aku keluar dari ruang dosen.

Aku mengangguk lemah. "Coretannya banyak banget."

Azada menggerakan kepalanya naik turun sebanyak tiga kali. "Ya udah, kita revisi di perpus sekarang," ajaknya.

"Makan dulu, yuk. Lapar." Aku memukul perutku pelan.

Daripada memikirkan revisi, aku lebih menyukai memikirkan tempat mana yang harus aku tuju untuk mengisi perut yang sudah keroncongan karena belum sarapan dari pagi.

Aku mengajak Asada makan di warung yang berada di luar kampus. Lagi pula ketika masuk jam makan siang, kalau terlambat ke kantin pasti tidak akan kebagian tempat duduk.

Kami memilih makan di Warung Mbak Ami yang jadi favorit anak kos sepertiku karena makanannya enak, banyak dan harganya sangat ramah di kantong. Begitu masuk ke dalam warung, aku memesan makanan untuk kami berdua, sementara Azada mencari tempat duduk.

Saat kami tengah menikmati makanan, tanpa permisi seseorang duduk di sebelah Azada. Aku membeku dan memandang orang yang duduk tepat di depanku. Dia balas menatapku, tapi aku terlebih dahulu menggunting tatapannya.

"Ka ... eh, Pak," sapa Azada antusias kepada pria yang membalas dengan senyum simpul. "Tumben makan di sini?" tanya laki-laki itu santai seperti sedang bertanya kepada teman seangkatan.

"Udah langganan dari masih jadi mahasiswa. Saya suka makanan di sini karena enak dan murah," jawab pria yang paling aku benci, karena gara-gara dia aku harus mengulang mata kuliah yang diajarnya sebanyak dua kali.

Suka makanan murah atau emang pelit sama diri sendiri, batinku mencemooh pak dosen ini.

"Ah ... aku sampai lupa kalau Pak Paris lulusan kampus ini," sambung Asada yang dibalas dengan senyuman tipis dari Pak Dosen terjudes sekampus ini.

Kami menikmati makanan masing-masing dalam diam, tapi hanya berlangsung beberapa menit karena Azada mendadak heboh dengan pembicaraan mengenai bola dengan Pak Paris. Aku sama sekali tidak mengerti, jadi aku membiarkan kedua pria ini saling bertukar cerita sementara aku fokus dengan makananku.

Sepanjang mereka berdua bicara, aku iseng melihat sekeliling dan beberapa perempuan kedapatan mencuri pandang bahkan ada yang terang-terangan melihat ke arah kami. Semua karena ada dua laki-laki yang memiliki paras yang enak dipandang. Walaupun mereka berdua memiliki gaya berpakaian yang beda dan menurut standar masyarakat mereka masuk ke dalam daftar pasangan idaman para wanita, tapi menurutku mereka berdua biasa saja tidak ada hal yang istimewa. Apalagi Pak Paris, udah judes, pelit nilai, disiplin tinggi. Gak ada Perempuan yang betah di dekatnya.

**

"Asa, aku pulang ya. Ngantuk nih," kataku begitu keluar dari warung.

"Gak ada yang pulang. Ingat revisimu seabrek." Azada menarik tas ranselku, otomatis tubuhku terbawa mendekat padanya.

"Azada! Apa-apaan, ih. Kasar banget jadi cowok!" teriakku yang berhasil menarik beberapa orang untuk memperhatikan kami. "Bikin malu. Azada, lepasin!"

"Aku akan lepasin kalau kamu janji ikut aku ke perpustakaan."

Aku hendak membalas perkataan Asada, Pak Paris lebih dahulu bertanya, "Kalian berdua pacaran?"

"GAK!" balas kami berdua serempak, tapi dengan kurang ajarnya Azada langsung mendorongku menjauh. Dasar manusia, hampir aja aku jatuh.

Pak Paris sedikit tersentak. Mungkin kaget dengan balasan kami berdua yang bersuara lantang.

"Oh, saya kira kalian pacaran. Soalnya kalian cocok juga, sama-sama mahasiswa angkatan tua yang banyak masalah."

Mulutnya emang terkenal tajam banget kayak pedang. Dulu waktu aku masih aktif kuliah, tiap pertemuan selalu kena marah, dihina dan dipermalukan di depan mahasiswa lain. Untung waktu itu ada Angkasa yang selalu mengingatkanku untuk sabar, katanya bagaimanapun dia tetap dosen kita.

Satu waktu, kesabaranku pernah habis karena ucapan Pak Paris sangat menyakitkan. Aku dibilang mahasiswa daerah yang modal gaya aja, tapi gak ada otaknya. Aku melancarkan aksi balas dendam dengan menyiram saus tomat ke kaca depan mobilnya, tapi sialnya ketangkap langsung sama dia. Ujungnya pasti bisa ditebak, aku dapat nilai E. Otomatis aku harus mengulang mata kuliahnya.

"Woii! Bengong terooos." Azada mendorong kepalaku pelan.

"Sok tau," balasku tak acuh. Sebenarnya aku beneran bengong sih, soalnya baru sadar kalau kami berdua udah berpisah dengan Pak Paris.

"Ros, kamu ekstrovert atau introvert?"

"Introvert."

"Mana ada. Kamu bawel gini," sergah laki-laki ini seperti tidak terima aku termasuk kaum introvert.

"Nah, manusia kayak kamu ini yang suka berprasangka salah sama orang introvert." Aku menggaruk hidung yang tiba-tiba gatal, lalu melanjutkan. "Introvert itu tipe orang yang mengisi energinya dengan cara menyendiri. Orang Introvert bukan berarti harus pendiam. Kalau kamu ketemu orang pendiam, pemalu, gak pandai ngomong di depan umum bukan berarti introvert."

Azada mengangguk beberapa kali, "Sorry, selama ini aku kira orang cerewet itu artinya ekstrovert."

"Ya, gak lah. Makanya belajar biar pintar dikit," celaku sengaja membuat dia emosi.

"Lihat siapa yang ngomong. Sesama mahasiswa yang belum lulus dilarang saling menghina," timpalnya lalu menarik rambutku.

Sepanjang perjalanan menuju perpustakaan hanya diisi dengan saling mengejek dan menghina satu sama lain. Berteman dengan Azada ternyata menyenangkan, walaupun dia sering jahil tapi dia tau batasan. Sama kayak Angkasa jahil tapi perhatian dan selalu memarahiku kalau aku buat kesalahan.

Mendadak aku kangen Angkasa. Dia lagi ngapain ya? Udah lama dia gak balas pesanku.

Kami sudah berada di perpustakaan. Azada langsung sibuk mencari buku untuk tambahan materi proposal skripsinya. Sementara aku masih duduk sambil membolak-balik kertas proposal skripsi yang banyak coretan revisi.

"Gak adil banget. Anak SMA sekarang udah gak ada UN, harusnya tingkat universitas harus menghapus skripsi jadi syarat lulus." Aku berbicara sendiri sambil menelungkup kepala di atas meja. Gak peduli mau dikata orang dengan gangguan jiwa karena ngomong sendiri.

Di tengah omelan, aku mendengar bunyi kursi di sebelahku ditarik.

"Mbak Ros, ngapain?" Seseorang menepuk bahuku.

Aku mengangkat kepala dan menoleh ke samping yang membuat senyumku otomatis terbit.

"Rencana mau nyangkul ... ya cari buku dong Helda. Gimana sih," gerutuku membuat Helda nyengir. "Kamu gak ada kelas?" tanyaku.

"Gak ada, Mbak. Aku balikin buku terus lagi nyari bacaan baru untuk aku pinjam lagi dan lihat Mbak Ros masuk perpus, makanya aku temui Mbak."

"Oh, ya udah kamu pulang aja."

"Gak jadi. Aku mau nemenin Mbak Ros aja," ujarnya sambil mengedipkan matanya berkali-kali. Seketika membuatku bergidik geli dan dibalas kekehan darinya.

"Waaah, Ros. Kenalin dong," ucap Azada yang baru saja datang dengan tumpukan buku di tangannya.

"Gak boleh!" balasku galak.

Azada kelihatan tidak peduli. Dia langsung memindahkan barang-barangnya di sebelah Helda dan mengajak berkenalan dengan teman kosku itu. Helda juga kelihatan menyambut hangat sapaan Azada jadi ya aku bisa apa.

"Kamu cukup kenalan aja. Gak boleh macam-macam sama adik kosku ... Helda, jangan pernah kamu kasih nomor teleponmu ke Azada," ancamku.

"Siap, Kak." Helda mengangguk patuh kemudian tertawa geli melihat Azada yang tidak terima dengan ancamanku.

"Dasar manusia sirik, penuh iri dengki. Cari buku sana! Ingat revisi banyak dan dua minggu lagi kamu harus ujian proposal," cecar laki-laki itu. Aku membalas dengan melemparinya dengan kotak pensil.

***

Setelah perjuangan yang sangat melelahkan tepat jam empat sore. Aku berhasil menyelesaikan dua dari sepuluh lembar revisi.

Rasanya capek dan stres luar biasa, serius. Aku butuh pengalihan stres. Kayaknya beli baju lagi nih.

Saat aku sedang beres-beres meja sebelum pulang dari perpustakaan yang dibantu sama Helda, dentingan ponsel menginterupsi kerja tanganku.

Dospem

[Saya akan ke luar kota lusa selama satu minggu. Besok temui saya untuk konsultasi. Terima kasih]

Aku langsung terduduk lemas tak berdaya. Tuhan, apakah mulai malam ini aku resmi menjadi pasukan begadang seperti pejuang skripsi lainnya?

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Where stories live. Discover now