4. Arosa yang Gugup

422 34 0
                                    

[Tau gak, aku tuh iri banget sama kamu yang sekarang bisa bebas ngapain aja tanpa takut ekspektasi orang lain terhadapmu.

Tunggu ya, cepat atau lambat aku akan nyusul kamu.]

Aku mengirim pesan ini kepada Angkasa. Masih tetap centang satu. Kamu di mana? Kenapa kemarin hanya membalas pesan-pesanku sesingkat itu?

Aku masih mengamati barisan huruf-huruf dalam ruang obrolan di aplikasi, mendadak layar ponsel berganti menampilkan panggilan telepon masuk dari Mama.

"Nak, lagi ngapain?"

"Lagi siap-siap ketemu Dosen, Ma. Ternyata Penelitiannya lebih cepat selesai," jawabku dengan sedikit dusta.

"Syukurlah, Mama senang banget. Berarti sebentar lagi kamu akan ujian?" balas Mama dengan nada ceria.

Aku berdeham samar. "Doakan aja, Ma. Kalau revisi hari ini lancar, aku akan cepat ujian."

Katakan aku anak durhaka, kurang ajar, tidak tau diri dan jenis makian apapun yang diucapkan untukku, silahkan saja. Untuk ribuan kalinya aku membohongi Mama lagi. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk tidak menambah kekecewaan Mama.

***

Aku sedang menunggu Pak Ruslan yang masih mengajar semester dua. Dari tadi kakiku tidak tenang. Mondar-mandir ke sana-kemari. Kalau ditanya perasaanku saat ini, jawabannya adalah cemas, takut dan berpikir berlebihan.

Kira-kira Pak Ruslan akan marah atau tidak? Kalau tau aku membawa kembali judul yang dua tahun lalu proposalnya disobek oleh Pak Ruslan. Otakku buntu, sudah tidak mampu lagi untuk membuat judul baru. Biarlah, kalau sampai kali ini judulku ditolak, aku akan sepenuhnya menyerah dengan skripsi.

Perasaan cemas dan takut itu mendadak berganti dengan rasa jengkel, karena aku harus bertemu lagi dengan sosok menyebalkan yang dari tadi malam mengirimku pesan yang isinya sangat tidak jelas.

"Woi, kalau orang kirim pesan itu harus dibalas. Gak ada sopannya jadi mahasiswa," sindirnya yang saat ini berdiri di depanku.

Aku mendongak menatapnya. Tinggi kami sangat berbeda. Aku hanya setinggi dadanya.

"Kamu kira aku dosen pembimbing? Skripsiku aja belum jadi, kenapa aku harus koreksi skripsi orang."

"Kamu 'kan dulu pintar, pasti taulah materi skripsiku ini," balas Azada sambil menendang ujung sepatuku.

"Apaan sih. Gak sopan nendang sepatu orang," gerutuku. "Kalau aku pintar, gak mungkin sampai semester 13."

Sontak dia tertawa terbahak-bahak.

"Puas!" bentakku lalu memutar tubuh membelakanginya supaya tidak melihat wajahnya.

"Maaf deh udah buat kamu gak nyaman dengan pesanku semalam. Tolong bantu aku, ya. Kita kerja skripsi sama-sama, yuk. Ini pertaruhan hidup dan mati aku yang terakhir. Arosa, tolong ya. Aku mohon," katanya di balik punggungku.

Aku yang tak tahan mendengar ocehannya kemudian berbalik, tapi aku tersentak karena dia berdiri dengan posisi sedikit membungkuk dan wajah kami sangat berdekatan.

Aku reflek mendorong wajahnya menjauh. "Jangan dekat-dekat. Bikin risih, mana berisik," ujarku dengan tatapan galak.

"Aduh, salah aku lagi. Maaf. Jadi gimana? Aku kalau gak ada temannya akan malas banget buat skripsi. Yuk, kita saling bantu, biar tambah semangat."

Dih, ucapannya apa banget. Aku berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Tapi janji, jangan pernah kirim pesan yang gak jelas, skripsimu adalah tanggung jawabmu, dan kita hanya bertemu di perpustakan kampus. Mengerti?"

Dia mengangguk bahagia, kemudian mulai bercerita kalau alasan laki-laki berkulit sawo ini ingin segera mendapat gelar, karena dijanjikan dibelikan motor trail oleh ayahnya. Makanya, dia ingin cepat menyelesaikan skripsi.

Lima belas menit kemudian Pak Ruslan muncul dengan menentang tas di bahu kiri dan tangan kanannya memeluk sebuah buku. Tatapannya lurus ke depan, tapi sesekali mengangguk merespon sapaan para mahasiswa. Di usianya yang sudah mendekati pensiun, beliau masih sangat gagah, ditambah auranya yang mengintimidasi, membuat semua orang segan padanya.

Rasa gugup melanda, aku ingin kabur saja dari tempat ini. Namun, itu tidak mungkin karena Pak Ruslan sudah melihatku. Saat Pak Ruslan melewatiku, beliau memberi kode dengan kepalanya agar aku menyusul ke ruang dosen. Aku langsung mengekorinya dari belakang dan melupakan kehadiran Azada yang menemaniku sampai di depan ruang dosen.

Ruangan tampak ramai dengan beberapa dosen yang sedang menerima konsultasi mahasiswa.

"Pak Ruslan, ini anaknya belum lulus juga?" celetuk Bu Marla yang mejanya persis di sebelah meja Pak Ruslan.

"Iya, mahasiswa abadi ini, Bu. Terakhir ketemu saya dua tahun lalu, setelah itu dia gak muncul lagi."

"Oalah, kuliah gak selesai?Kasihan orang tuamu," kata wanita yang selalu tampil modis ini.

Aku hanya berdiri kikuk dan tersenyum salah tingkah. Tidak tau harus membalas apa, karena yang lebih pantas dikasihani adalah diriku sendiri.

"Anaknya susah dinasehati," balas Pak Ruslan sambil menarik kursinya sebelum diduduki.

Pak Ruslan dan Bu Marla masih terus membahas aku dan beberapa mahasiswa yang bermasalah.

"Kamu harus lulus dalam waktu dekat ini, lho. Tadi ibu baca berita tentang virus corona udah mulai merebak ke beberapa negara, gak menutup kemungkinan akan masuk Indonesia. ini virus baru jadi belum ada obatnya. Kita harus berjaga-jaga ini," kata Bu Marla serius sambil menatapku.

"Iya bu, akan saya usahakan untuk lulus dalam waktu dekat."

"Halah, virus itu gak akan masuk ke Indonesia. Ibu Marla tidak perlu takut ," balas Pak Ruslan.

"Tidak ada salahnya berjaga-jaga, Pak. Sudah ada negara yang mulai lockdown," balas Bu Marla.

Aku juga baru baca berita kalau ada virus baru yang awalnya di temukan di China, hanya sebatas itu. Aku bukan orang yang selalu mengikuti berita-berita yang sedang viral saat ini, tapi setuju dengan kata Pak Ruslan. Tidak usah kuatir, percaya deh orang Indonesia kebal dengan virus ini.

Pak Ruslan tidak membalas ucapan Bu Marla. Pria itu mengalihkan perhatiannya padaku.

"Ini kesempatan terakhir kamu untuk saya bimbing. Sebenarnya saya sudah tidak ingin menerima kamu jadi anak bimbingan saya, karena kamu itu sangat kurang ajar. Suka menghilang. Sekalinya muncul buat saya naik darah. Kamu tau 'kan alasan saya merobek proposal kamu dua tahun lalu?!" cecar Pak Ruslan, membuatku menundukan kepala dan mengangguk samar.

"Coba jelaskan lagi alasannya."

"Sa--saya plagiat, Pak," jelasku dengan suara sangat rendah.

Ini adalah hal yang aku tutupi dari Bu Sherli kemarin. Malu mengakui kalau aku memplagiat isi skripsi orang lain. Aku mengambil keputusan untuk memplagiat karya orang lain karena saat itu pikiranku buntu dan tidak ingin membuat otakku berpikir keras. Akibatnya, aku menerima balasan dipermalukan di depan umum oleh Pak Ruslan dan membuatku sakit hati.

"Kali ini kamu harus membuat karya original, kalau mau mengutip hasil karya orang lain harus sertakan sumbernya ya. Boleh jadi orang bodoh, tetapi jangan jadi maling karya orang ya. Itu bukan perbuatan terpuji."

Kata-kata Pak Ruslan yang menohok, berhasil menyentil hatiku. Tidak pernah ada dalam kamus beliau untuk berkata lembut pada mahasiswa yang bermasalah sepertiku.

"Iya, Pak. Saya janji tidak akan memplagiat skripsi orang lain. Saya mohon bimbingan Bapak."

"Mana judul barumu?"

Nah, ini dia bagian yang paling aku takutkan. Tuhan, semoga kali ini judulku diterima dan beliau mau menerima alasanku. 

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Where stories live. Discover now