Pertanyaan Jebakan yang Tak Perlu Jawaban

Start from the beginning
                                    

Aku akan disibukkan dengan pernak-pernik seperti ini dan dia tidak keberatan sama sekali untuk dilibatkan.

Bagiku, semua kalimatnya tak lebih dari sebuah kode agar aku segera menikah.

Mama memang menggemaskan.

Karena kamar apartemen-ku belum bisa dihuni, alhasil aku hanya bisa meletakkan semua barang-barang personal dari kamarku ke sana (tidak semuanya memang, hanya hal-hal primer, karena aku juga tetap akan pulang ke rumah).

Mama minta malam ini agar aku tidur di rumah, tetapi aku berhasil membujuknya bahwa aku harus latihan kembali. Yaitu dengan menginap di sebuah hotel dekat dengan gedung apartemen-ku.

Tentu aku tidak sendiri, aku juga berhasil merayu Mbak Andin untuk menemaniku.

Alasanku memang sangat masuk akal: besok, kan barang-barangku dianter, jadi kita bisa jalan berdua langsung ke apartemen dan mulai nyusun kamar supaya layak huni.

Dan, ia tak bisa menolak.

Sekarang, dia sedang membersihkan diri. Katanya mau berendam lama, me time dengan memutar lagu kesukaan. Sementara aku yang sudah selesai mandi berbaring di atas kasur sambil memainkan handphone.

Mbak Andin mewanti-wanti untuk tidak makan apa pun lagi karena bisa merusak pola hidup sehatnya yang baru dimulai.

Jadi, aku bisa apa?

Harus menjadi pendukung setianya.

Mataku memicing, mendapati sebuah notifikasi pesan dari Noah di WhatsApp.

Mbak Yoz, kapok nggak liatin aku ngelukis?

Tawa pelanku keluar, aku segera membalasnya.

Nggak dong. Malah mau lagi kalau dibolehin.

Ya boleh banget!!!

Mau kapan?

Nanti aku kabari ya, Mas. kita cocokin lagi sama jadwal Mas Noah.

Soalnya aku lagi mau pindahan nih, lumayan nguras waktu dan tenaga :)

Lho, pindah ke mana?

Ke Swiss.

Are u kidding me right now?😑

Aku tertawa kencang. Ngobrol dengan Noah memang menyenangkan. Dia juga orang yang asyik dan humoris. Jadi, selalu ada bahan dan tidak pernah merasa gugup seperti saat sedang berhadapan dengan Bara.

Swiss-nya di selatannya Jakarta lol

Bener-bener, ya. Kapan pindahannya?

Udah mulai beberapa hari ini.

Tinggal beres-beresin tempatnya.

Nunggu semua barang sampe dengan selamat.

Btw, Mas Noah, aku lupa mau bilang makasih banyak,

abis mentioned di story dan kamu repost,

followers galeriku naiiiikkkk!

So happy banyak orang DM buat tanya-tanya.

Wish, siap-siap hire admin lagi nih.

Tanda-tanda Mbak Yoz ga boleh terlalu mandiri apa-apa dilakuin sendiri 😒😒

Aku membalasnya dengan emoji tawa.

Setelahnya, percakapan kami selesai.

Aku bergantian mengecek laporan dari galeriku. Berapa jumlah pengunjungnya di minggu ini, lukisan mana yang paling banyak ditanyakan, baik di media sosial maupun online, lalu email yang berisi ajakan kerjasama.

Sampai aku sudah selesai melakukan semuanya, aku masih belum melihat tanda-tanda Mbak Andin akan keluar dari kamar mandi.

God, please, apakah dia pingsan?

Percuma menggedor pintu, aku akhirnya memutuskan untuk meneleponnya.

Tada!!!

Dia mengirimiku pesan, memohon untuk tidak mengganggunya.

Baiklah.

Aku melirik notifikasi dan seketika mataku melebar ketika melihat siapa yang mengirimu pesan.

Bara, tentu saja.

Dia meminta izin untuk menelepon, dan aku tidak mungkin menolaknya.

"Hai," sapanya dari seberang sana.

"Hai."

"Lagi ngapain?"

"Abis liatin laporan galeriku, terus lagi nunggu Mbak Andin selesai mandi."

"Dia lama mandinya?"

"Bangeeeet. Mas Bara lagi di mana?"

"Di apartemen. Baru selesai ngurusin tugas mahasiswa. Kamu pindahan, ya?"

Ya Tuhan, ini pasti dari Noah.

Aku tidak terpikir sampai sejauh ini. Sebelumnya, aku dan Mbak Andin kebingungan bagaimana caranya memberitahu Bara bahwa aku akan pindah dan aku juga tidak tahu apakah informasi itu penting atau tidak.

Ternyata, dia malah tahu dari sahabatnya.

Sungguh relasi yang sangat menguntungkan.

"Ya, tau dari Mas Noah, ya?"

Dia bergumam. "Pindah ke mana?"

Aku menyebutkan nama apartemen.

"Lho, aku lewatin lho kalau mau ke kampus papamu."

"Ohya?" mataku pasti sudah berbinar-binar. Berharap dengan ini, kami jadi memiliki banyak kesempatan untuk bertemu.

"Iya. Tinggal sama Mbak Andin?"

"Nope, dia nggak mau. Aku lagi pengen tinggal sendirian, nggak apa-apa."

"Mau coba hidup mandiri?"

"Heiii, aku memang selama ini mandiri."

Ia tertawa. "Percaya, percaya. Tapi nanti kalau sendiri nggak ada yang bisa diandelin 24 jam, lho. Kalau sakit, harus cepat tanggap buat ke RS."

"Nggak apa-apa." Aku tertawa pelan.

Kemudian hening beberapa detik, sebelum akhirnya dia kembali bersuara. "Udah beres semua pindahannya?"

"Belum. Aku beli barang-barang baru dan besok masih ada yang dateng. Jadi, nanti harus rapi-rapi, pengen nyusun sendiri sesuai yang aku mau."

"Mau dibantuin?"

Oh, God, please.! Yes! Yes! Yes!

Aku berdeham. "Memangnya Mas Bara nggak sibuk?"

"Besok kelasku cuma dua. Selesai sebelum makan siang. Aku ke sana pas makan siang, gimana?"

"Mas Bara mau makan siang di deket sini?"

"Nggak harus. Kamu mau makan siang di mana?"

Hatiku rasanya sudah meleleh.

Dia mengajakku makan siang dan bersedia membantuku merapikan apartemen. "Nanti ... aku cari-cari dulu."

"Okay, nanti kabari aja, ya."

Aku tersenyum lebar. "Okay."

Kukira obrolan kami di malam itu akan berakhir, ternyata dia menambahkan kalimat yang ... membuatku terdiam. "Ozi, kriteria laki-laki kamu gimana?"

cinta bukan karena privilegeWhere stories live. Discover now