12. USG

1.4K 117 12
                                    

Jantung Disty tidak pernah bisa berhenti berdetak setelah namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruang dokter spesialis kandungan. Suster mempersilahkannya duduk di hadapan dokter dengan ramah.

"Perkenalkan ibu, saya dokter spesialis kandungan, dokter Grittana Sisca Sp. OG.KFER." Dokter Gritta melihat melirik sejenak laptopnya lalu tersenyum simpul pada Disty. "Benar dengan ibu Hardjoatria?"

"Iya dokter Gritta, saya Adistya Rivi Hardjoatria."

"Sudah jalan berapa usia kehamilannya bu?"

Sesi tanya jawab ringan antar dokter dan pasien berlangsung tidak lama. Disty diminta suster untuk naik ketas brangkar selagi menunggu dokter mengambil stetoskop. Disty yang terlihat gugup langsung naik keatas brankar. Ia mulai diperiksa dokter.

"Mohon izin saya singkap bajunya ya ibu, untuk USG." Ucap suster dengan sopan. Disty mengangguk pelan.

Di layar monitor USG, Disty melihat gumpalan kecil yang melengkung. Dokter memberikan Disty penjelasan yang lebih detail karena ini merupakan kehamilan pertamanya. Dokter menjelaskan perkembangan janin pada trimester pertama.

Kedua mata Disty berkaca-kaca melihat ke arah layar USG. Janin yang hadir dalam rahimnya ternyata berkembang baik, kata dokter. Hanya saja Disty harus lebih banyak makan makanan yang baik untuk menunjang perkembangan janinnya.

"Dia bahkan berkembang dengan baik, meski nggak ada ayahnya." Batin Disty sesak.

Disty merasa berdosa karena sudah berusaha membunuh janin mungil tak berdosa itu. Nyatanya, sekuat apapun ia menolak, sekuat apapun ia berusaha mengenyahkan bayi itu, ia tetap ingin hidup. Ia bahkan terlihat begitu kecil di dalam rahimnya. Seolah berusaha sendirian didalam sana untuk berkembang ditengah banyak penolakan yang tidak menerimanya.

"Ibu menangis?" Dokter menyadari Disty sudah menangis.

"Pasien kayaknya terharu dokter." Ucap suster dan mengelus bahu Disty. "Semoga sehat-sehat dan lancar sampai lahiran ya, bu."

Tangis Disty semakin menjadi, ia mengangguk dan mengusap air matanya. Disty akhirnya pamit dengan bekal resep vitamin dan print hasil USG-nya.

Disty duduk sendirian di taman rumah sakit. Ia menangis terisak-isak disana seorang diri. Tangannya bergetar memegang hasil USG yang memperlihatkan bayi kecil yang sedang bersemayam dalam kandungannya.

"Ma-maafin mommy, nak. Udah berusaha bunuh kamu. Nggak terima kehadiran kamu, padahal kamu nggak salah." Disty menyeka air mata yang terus membasahi kedua pipinya. "Mommy akan belajar nerima kamu mulai dari sekarang. Akan berusaha mencintai kamu, sebagaimana mommy mencintai abang kamu, Farel." Bisiknya sendu. Tangannya mengelus perutnya dengan pelan.

Saat Disty sedang menangis, ia merasakan ponselnya berdering. Disty langsung mengangkat panggilan yang ternyata dari ibu.

"Disty, ibu daritadi nggak berhenti mikirin kamu. Kabar kamu baik dan sehat kan?"

"Ibuuu.." Disty setelahnya menangis. Membuat Ibu diseberang sana kaget dan khawatir.

"Kamu nangis kenapa?"

"Disty tadi habis dari dokter kandungan bu." Jawab Disty masih dengan tangisnya.

"Terus gimana? Kandungan kamu nggak kenapa-napa kan?" Nada suara ibu terdengar sangat khawatir, tangis Disty makin pecah. "Kamu kenapa Adistya?" Ya, ibu akan memanggil namanya dengan lengkap jika sedang sangat khawatir dan emosi, sama seperti ayah.

"Disty akhirnya bisa lihat bayi dalam kandungan Disty bu. Dia kecil banget, Disty jadi merasa kasihan dan bersalah karena sempat menolak dan pengen dia mati."

Disty and The BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang