9.MEMUNTAHI DEVAN HARDJOATRIA

902 60 2
                                    

Devan pulang dari kantor di jam yang mengarah pada pukul 10 malam lewat. Saat ia membuka pintu rumah dengan keadaan lelah, pemandangan pertama yang menyambut penglihatannya adalah seorang wanita dengan gaun tidur selutut sedang meringkuk diatas sofa lebar ruang tamu utama.

Tatapan Devan yang dingin dan datar menatap sang istri yang terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Pandangan Devan perlahan turun ke perut Disty yang anehnya belum terlihat jika ia sedang mangandung janin berusia 9 minggu mungkin?

Pikiran Devan jadi berantakan membayangkan di dalam kandungan wanita yang sedang tidur itu ada darah dagingnya. Janin kecil sedang berkembang di dalam rahim wanita yang dengan sangat terpaksa sudah ia nikahi agar hati dan pikirannya sedikit tenang dari kegundahan yang tidak pernah bisa dilupakan.

Gara-gara kecerobohannya, ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya yang mutlak tidak ingin menikah lagi. Ia memutuskan untuk hidup berdua dengan putranya, Farel Hardjoatria. Ia sudah membayangkan jika biarlah Farel yang menjadi penerus PHC dimasa yang akan datang. Atau bahkan jika buka Farel, biarlah keponaannya yang lain. Ia tidak peduli, yang penting darinya sudah ada penerus. Terserah mau dijadikan pewaris PHC atau bukan, itu adalah keputusan keluarga besar nanti. Karena kakek yang memilih Devan, sudah lama meninggal.

Devan duduk di sofa dan mengambil ponselnya dari dalam saku celana bahannya. Ia membuka pesan yang sang istri kirim sejak sore. Entah berapa pesan yang Devan sengaja abaikan, tidak ada minat membalas. Telepon pun begitu, Disty menelponnya di jam 8 malam, ia juga tidak mengangkat karena sibuk termenung sendirian.

Disty : mas Devan, mas nggak pulang sore?
Disty : mas, jangan lupa makan malam :)
Disty : mas pulang jam berapa? Disty tunggin ya :)
Disty : mas Devan kenapa nggak angkat teleponnya Disty?
Disty : mas kalo udah siap kerja pulangnya hati-hati ya...
Disty : mas Devan masih di kantor ya? Disty mau bicara soal Farel sama mas Devan. Penting
Disty : mas Devan, pulang :(

Devan menghembuskan nafasnya kasar. Ia melempar ponselnya dengan tidak minat ke sudut sofa. Nyatanya suara dentuman pelan ponsel yang terpental ke sofa malah membuat Disty terjaga. Disty dengan wajah setengah ngantuk langsung menurunkan kedua kaki ke lantai dan berusaha mengambil posisi duduk.

"Mas baru pulang ya?" Tanya Disty, mengamati Devan yang sedang membuka sepatu dan kaos kakinya.

"Hmm."

"Mas Devan udah makan?"

"Udah." Sahut Devan dengan acuh. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah naik ke tangga menuju kamar. Tapi Disty langsung mengekori langkah sang suami dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Kok mas Devan nggak balas pesan aku?"

Devan kini melirik tajam Disty yang malah ikut masuk ke dalam kamarnya. Alih-alih menjawab, Devan malah menunjuki pintu. "Ngapain masuk kamar saya? Keluar!"

"Jawab dulu, kenapa mas nggak balas pesan aku?"

Devan berkacak pinggang menghadapi Disty yang terus menanti jawabannya. "Suka-suka saya lah. Hak saya mau balas apa nggak pesan nggak penting kamu!"

Disty terdiam. Sekali lagi ia bertanya dalam hatinya. Apakah pria ini sungguh jatuh hati saat melihatnya pertama kali? Tapi kenapa setelah mereka menikah, sikapnya berbeda. Tidak seperti orang jatuh hati. Disty jadi sedih. Sialnya ia memang seringkali merasa sedih karena hormon kehamilannya.

"Kamu nggak perlu lah chat-chat saya pake pesan alay kaya gitu. Saya bukan anak seusia kamu. Saya ini, duda anak satu. Masa saya menanggapi pesan itu udah lewat. Nggak penting." Ucap Devan dengan dingin.

"E-emangnya salah ya? Disty cuma khawatir aja."

"Saya nggak biasa. Di pernikahan sebelumnya juga kami nggak ikut campur urusan masing-masing soal pekerjaan. Bahkan mantan istri saya pulang malam juga saya nggak ada tuh nanya-nanya hal alay, karena saya tau dia kerja."

Disty and The BabyWhere stories live. Discover now