10. Hilman - Perjanjian?

9 0 0
                                    

Sumpah, ya, suara ini cewek kuat banget.

“Heh, Bebek sialan! Suara kamu dengan volume biasa saja sudah mampu memekakkan telinga, tidak usah teriak! Sengaja mau buat telinga saya pecah?!” semburku.

Benar-benar menyebalkan ini anak. Ya Allah, bisa-bisanya aku menikah dengan gadis bersuara cempreng bak toa masjid ini?

Kulihat ia melotot ke arahku yang masih mengusap telinga. Kutatap balik matanya dengan pelototan yang tak kalah tajam.

“Apa tadi kamu bilang?” Tersirat ketidakterimaan dari suaranya. Membuatku tersenyum miring, memikirkan hal yang baru terlintas di otak.

“Kenapa? Tidak suka sama panggilan saya? Lagi pula kamu memang persis bebek yang suka bikin rusuh di empang dekat rumah saya.”

Entahlah. Aku tidak tahu kenapa bayangan bebek-bebek menyebalkan itu langsung terlintas di otak saat menyebut Nura dengan sebutan itu.

“Astaga, Kingkong!” Sekali lagi aku menutup telinga karena teriakan yang lebih melengking, mengalahi suara toa masjid. Aku tidak menyangka jika gadis ini memilik volume suara setinggi itu. Apa tenggorokannya tidak sakit?

Menggeleng kecil, masih dengan menutup telinga, aku mendekat ke arahnya. Jangan lupakan tatapan tajam yang masih kulayangkan. Nura benar-benar menyebalkan.

“Memang muka saya sejelek itu, ya, sampai kamu menyamakan saya dengan bebek? Bebek di empang lagi.”

Aku meringis melihat raut sendu di wajahnya. Dih, dia tersinggung dengan kata-kataku? Sejak kapan? Bukannya dia tipe orang yang tidak pedulian? Kenapa sekarang malah terlihat tersinggung saat aku menyamakannya dengan bebek? Ah, Hilman, pemikiran apa lagi ini?

“Kenapa? Kamu tidak dengar saya bilang apa tadi? Suara kamu yang cempreng itu kayak bebek di empang dekat rumah saya yang sukanya bikin rusuh. Belum jelas apa lagi?”

Ya, aku menyamakannya dengan bebek bukan dari segi fisiknya. Catat, ya, dari segi suaranya yang bikin rusuh saja. Dari awal aku juga sudah mengakui kalau gadis ini cantik, kok. Haha. Biarlah kalian pusing dengan sikapku. Aku juga pusing kenapa diriku malah menjadi seperti ini semenjak bertemu Nura. Bahkan masih bisa tertawa dalam hati, padahal aku sudah benar-benar kecewa dengan realitas yang tidak sejalan dengan ekspektasi ini.

Kulihat Nura mendengkus keras. Tidak ada sepatah kalimat pun yang terucap, padahal kulihat bibirnya terbuka. Apa aku terlihat menyeramkan, ya, sampai Nura takut untuk membuka suara kembali?

Aku berdeham pelan, berusaha mengusir kecanggungan yang tiba-tiba hinggap di antara kami.

“Tadi kamu tanya apa?” ucapku setelah merasa cukup tenang.

“Kunci rumahnya mana? Saya mau istirahat, capek.”

Oh, ternyata. Aku merogoh saku celana dan mengambil dua kunci rumah. Kulepas satu kunci untuknya. Saat kusodorkan satu kunci itu, dia mengernyitkan kening. Ini cewek oon apa bagaimana, sih?

“Kenapa lagi? Kamu minta kunci rumah, ‘kan? Itu sudah dikasih. Tunggu apa lagi?”

“Kenapa dipisah?”

Aku menghela napas. “Biar kita sama-sama punya kunci rumahnya, Nura. Kamu mau berangkat dan pulang kampus bareng saya karena kunci rumah ada di saya?”

Aku menautkan alis, karena dia malah bergidik mendengar ucapanku. Ada yang salah? Aku hanya mengutarakan alasan yang paling rasional dalam hatiku.

“Ngarep,” desisnya. Dia meninggalkanku yang masih bergeming memikirkan ucapannya barusan.

Apa? Aku berharap sama dia? Astagfirullah, Nura. Tingkat percaya dirinya tinggi sekali. Siapa juga yang berharap. Begini juga aku terpaksa menikahi kamu.

One Night ProblemWhere stories live. Discover now