7. Nura - Kenyataan Mengejutkan

6 0 0
                                    

"Tante dan Om Defran, selaku orang tua Hilman, benar-benar meminta maaf atas kejadian malam itu, ya, Nura,” ucap Bu Diva.

Duh, mamanya Kak Hilman ini enggak peka atau bagaimana, sih?  Enggak lihat apa kalau anaknya sewot banget sama aku gara-gara sikap baiknya? Bola matanya sudah kayak mau melompat dari tempatnya tuh. Aku saja yang duduk jauh sama dia bisa paham gelagatnya yang bikin enggak nyaman pandangan.

Lagi pula, ini aneh banget buat aku. Masalah soal aku dan Kak Hilman kan sudah kelar seminggu yang lalu, tapi kenapa mereka masih memberi tahu kedua orang tuaku? Terus juga, malah minta maaf sama aku. Padahal aku juga salah kemarin.

Belum lagi alasan di balik sikap Bu Diva. Ini baru pertemuan pertamaku dengan mamanya Kak Hilman. Tapi beliau malah memperlakukan aku begini. Wajar, kan, kalau aku berpikiran yang enggak-enggak? Mana bisa aku santai panggil tante dan om? Enak saja!

Ingin rasanya aku melontarkan semua pertanyaan itu. Tapi entah kenapa lidah malah terasa kelu. Jadi, aku hanya bisa diam dan mengangguk-angguk dalam merespons ucapan Bu Diva. Mungkin juga efek ketakutan karena ada Ayah dan Ibu di sini kali, ya.

Kulirik Kak Hilman, tangannya mengepal. Jangan tanya seperti apa wajahnya sekarang. Enggak enak bener buat dilihat. Alisnya yang tebal itu hampir menyatu, warna kulitnya yang memang agak gelap jadi makin gelap. Tatapan matanya tajam banget. Seperti mengalahkan mata elang saja. Belum lagi bibir tebalnya yang sudah terbuka, seperti ingin membantah.

Yang lucu adalah, saat sebelah tangan Bu Diva terangkat dan melambai tepat di depan wajahnya, mulutnya spontan tertutup. Gerak-gerak tubuhnya malah menggemaskan. Bagaimana tidak? Dia sudah seperti orang menahan BAB. Eh, astaghfirullah, apa-apaan aku ini. Bisa-bisanya meledek orang pada saat genting seperti ini.

Tunggu! Aku teringat sesuatu. Kalau enggak salah mendengar Bu Diva menyebut nama papanya Kak Hilman itu Defran, ‘kan?

Jangan bilang itu ... aku mendadak mematung saat tatapanku tanpa sengaja beradu dengan lelaki yang duduk di samping Bu Diva.

Ah, apa-apaan ini? Itu beneran Pak Defran, kan? Kenapa Pak Defran bisa ada di rumahnya Kak Hilman? Jangan bilang masalahku sudah tersebar di kampus dan Pak Defran turun tangan? Apa itu juga sebabnya Ayah dan Ibu ada di sini?

Oh, Tuhan. Andai bisa, tolong hilangkan aku dari muka bumi ini. Mampuslah aku sekarang.

Tubuh seketika bergetar. Keringat-keringat juga terasa bercucuran di balik pakaian. Cairan bening tanpa permisi menggenang di kelopak mata. Aku ingin menangis kejer dan berteriak sekencang-kencangnya. Aku enggak sanggup menanggung sesak yang makin menyiksa dada ini.

Tapi .... Aku segera menundukkan kepala untuk menyembunyikan air mata dan kekagetan ini. Aku juga enggak sanggup melihat raut wajah Pak Defran. Raut itu mengingatkanku pada pertemuan di Fakultas saat aku ketahuan tidak ikut organisasi apa pun.

Duh, Nura. Terima nasib sajalah. Memang apa yang bisa kamu lakukan sekarang?

“Oh, iya, Ra. Tante lupa ngenalin. Ini Pak Halim Akbar. Papa saya, kakeknya Hilman. Kamu tahu, kan?” Ucapan Bu Diva membuatku terpaksa mengangkat wajah. Tidak lupa sebelum itu aku berusaha tenang dan menghapus jejak air mata di sudut mataku.

Siapa, sih, yang enggak tahu Pak Halim? Pria yang duduk sendiri di sofa sebelah kanan Bu Diva itu, kan, yang jadi saksi kejadian malam itu.

Aku hanya bisa mengangguk. Otak benar-benar terasa blank.

“Beliau mantan dekan Fakultas Pendidikan di kampus kalian lima tahun lalu.”

Aduh, kepalaku.

One Night ProblemWhere stories live. Discover now