5. Nura - Serangan Mendadak

5 0 0
                                    

Aku mendesah berat melihat sekeliling kamar saat pertama kali membuka mata. Kulirik ponsel, berharap ada panggilan atau pesan dari Linda dan Widya, tapi nihil. Kejadian malam itu pasti benar-benar membuat mereka kecewa sekali. Padahal sudah seminggu berlalu, mereka tetap saja enggak mau bicara denganku.

Kenapa nasibku jadi begini, sih? Masalah dengan Kak Hilman memang selesai. Tapi malah buat hubungan persahabatanku juga selesai.

Kutilik wajahku yang tampak kucel sekali. Mata masih memerah karena terlalu lama menangis, kepala yang masih terasa pening, pandangan berkunang-kunang. Ya, seminggu terakhir ini aku masih sering menangis. Entah apa alasannya.

Apa aku izin enggak kuliah saja, ya, hari ini?

Oh, enggak. Justru kalau aku enggak kuliah, Widya pasti makin berspekulasi macam-macam tentangku.

Enggak, aku harus segera meluruskan kesalahpahaman ini.

Akhirnya, aku bangkit untuk bersiap-siap ke kampus. Setelah itu, dengan cekatan aku turun. Bodo amatlah dengan orang-orang sekitar yang masih belum sepenuhnya baik sama aku.

“Ra, mau ke kampus bareng?”

Aku sedikit terperanjat mendengar suara Miftah. Ini cowok satu muncul tiba-tiba. Bikin kaget saja!

Aku celingak-celinguk, memastikan enggak ada yang melihatku bersama Miftah. Tapi ... realitas tidak sesuai ekspektasi. Di dekat gerbang, ada segerombolan mahasiswi yang langsung menatapku sengit. Duh, padahal aku enggak pernah mengusik mereka. Mereka malah terus menerus mengusikku.

“Kasihan banget Kak Miftah kalau sampai jadian sama itu cewek,” desis salah seorang dari mereka.

Aku berdoa dalam hati, semoga Miftah enggak mendengar ucapannya. Jika dilihat dari sikap Miftah sampai pagi ini, aku yakin dia enggak tahu dengan kejadian malam itu. Entah sedang ada di mana dia waktu itu. Tapi sikapnya masih sama ke aku.

“Lo, memang kenapa?” timpal mahasiswi yang lain.

Jantungku makin ketar-ketir. Apalagi Miftah sekarang mengikuti arah pandangku.

“Lupa sama kejadian malam itu?” timpal si mahasiswi yang pertama.

Sebelum pembicaraan mereka makin melebar dan Miftah tahu, aku segera menarik lengannya untuk segera pergi. Dia tampak menautkan alis, mungkin bingung kenapa aku tiba-tiba melakukan itu.

“Mif, maaf, ya. Aku akan berangkat ke kampus sendiri. Makasih tawarannya.”

Aku menghela napas lega begitu melihat angkutan umum yang lewat di dekatku. Aku segera naik, sebelum Miftah menginterogasi kenapa aku seperti ini. Aku belum siap jika kedekatan yang baru terjalin antara aku dan Miftah harus dengan cepat merenggang karena masalah itu. Tapi aku janji akan menjelaskannya pada Miftah jika aku siap.

Aku menyandarkan punggung di kursi angkutan umum itu. Membayangkan lagi apa yang terjadi setelah aku tiba di kampus usai kejadian itu, sudah membuatku ingin menangis. Pusing melanda, sesak mengimpit dada. Apa yang harus aku  lakukan lagi untuk membersihkan namaku? Bahkan peringatan dari Pak Halim pun enggak mereka hiraukan.

***

“Lin, Wid, aku bisa jelasin soal yang malam itu,” ucapku saat tiba di dekat mereka. Aku tahu sebenarnya mereka sudah melihatku sejak pertama berdiri di depan pintu kelas, tapi mereka seperti sengaja mencari kesibukan agar enggak bisa melihatku.

Merasa diabaikan, kududukkan diri di kursi agak jauh dari Widya dan Linda. Bagaimanapun, aku harus tetap menjaga konsentrasi karena sebentar lagi materi akan dimulai. Parahnya, dosen pengampunya kebetulan dosen killer. Jadi, harus benar-benar menjaga sikap.

One Night ProblemWhere stories live. Discover now