8. Hilman - Rencana Gila

9 0 0
                                    

Papa sepertinya bakat banget bikin orang penasaran, deh. Padahal ini sudah berlalu beberapa detik dari kalimat yang dijeda barusan, Papa belum juga melanjutkan. Malah bertingkah menjengkelkan dengan melirik ke arah Nura. Maksudnya apa coba?

Ayolah, Pa. Jangan buat anakmu ini menunggu terlalu lama.

"Jangan takut, Nura. Saya, ah, Om enggak akan bawa masalah kalian ke ranah kampus. Toh sudah selesai, kan?"

Kulihat Nura mengembuskan napas lega. Papa sudah seperti cenayang saja. Memang iya Nura berpikir begitu? Tapi kalau melihat dari responsnya barusan, sepertinya memang iya, sih.

"Kalaupun nanti ada yang tanya dari salah satu staf kampus, kalian bisa memberi pembelaan karena memang kejadiannya hanya salah paham. Kalau memang tidak bersalah, jangan takut."

Nura mengangguk-angguk. Raut wajahnya berangsur-angsur cerah. Kentara sekali kalau dia lega. Ya, walaupun aku lega juga, sih. Setidaknya aku enggak bakal kena omel Mama lagi karena masalah itu enggak berdampak ke urusan kampus.

Hebat juga papaku ini bisa menebak isi pikiran orang. Tapi ... apa tadi? Papa bilang Om Defran buat dirinya sendiri? Kenapa kesannya menyebalkan, ya?

"Ah, maaf, Pak Ridwan. Saya jadi lupa soal yang tadi."

Pak Ridwan tersenyum. "Tidak apa-apa, Pak. Malah saya berterima kasih ke Pak Defran karena peka terhadap putri saya, dan mau menenangkan dia."

Papa tertawa pelan. "Baik, saya lanjut yang tadi, ya."

Duh, Pa. Belum selesai nih acara bikin kejutannya?

"Kami berencana untuk ...." Aku menahan napas menunggu kelanjutan kalimat Papa. Jangan tanya perasaan. Satu sisi penasaran, satu sisi kesal. Ketar-ketir juga. Apalagi saat Papa malah menatap serius ayah Nura. "Kami berencana untuk menikahkan Hilman dengan Nura.”

“Apa?!” teriakku bersamaan dengan Nura. Tanpa sadar kami saling pandang setelah itu. Dapat kulihat raut kekagetan di wajahnya. Sebelah tangannya bergerak menutup mulut, sepertinya canggung. Bola matanya memerah.

Bukan hanya aku dan Nura yang kaget. Ayah dan ibu dia pun sama. Tapi bedanya mereka bisa menguasai diri dengan baik sehingga enggak terlalu kentara kagetnya.

Gila! Ini benar-benar gila! Kenapa tiba-tiba jadi begini? Kenapa enggak ada pemberitahuan apa pun sama aku? Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang menjadi musuh bebuyutanku selama ini?

Aku mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. Tindakan Papa dan Mama benar-benar kelewatan. Kapan mereka akan berhenti egois?

Aku sudah siap berontak, tapi Mama, beliau langsung mengunci tubuhku yang duduk di sampingnya agar enggak bisa ke mana-mana. Beliau menoleh ke arahku seraya menatap tajam. Jika sudah begitu, apakah aku berdaya? Yeah, pada akhirnya aku harus menutup mulut, tidak boleh protes. Payah, kan?

"Tapi itu masih rencana kami sekeluarga, Pak. Karena, ya, memang harus merundingkannya dengan keluarga Bapak. Kami tetap meminta persetujuan dari Bapak sekeluarga.

Mohon maaf sebelum dan sesudahnya karena kami malah meminta Bapak dan Ibu kemari, bukan kami yang datang melamar ke Sumenep."

Ayah dan ibu Nura masih diam, Papa dan Mama ikut diam. Ah, enggak. Mama enggak tinggal diam. Beliau sudah pasti tahu kalau sewaktu-waktu aku bakal berontak lagi. Itu sebabnya beliau diam-diam menekanku dengan mempererat pegangan di lenganku. Tapi, sebagai Hilman yang memang enggak suka diatur ini-itu, lama-lama enggak tahan juga.

"Mama, lepas."

Aku berusaha menarik tangan Mama dari lenganku. Jelas saja Mama langsung murka. Raut wajahnya sudah memerah. Sebelum Mama sempat menjawab, aku angkat bicara lagi.

One Night ProblemWhere stories live. Discover now