3. Nura - Perdebatan

10 0 0
                                    

Apa ini? Kenapa masalahnya jadi seperti ini? Kenapa si Kingkong bisa ada di kamar ini?

Jelas aku terkejut sekali saat tubuhku tiba-tiba tertindih. Pikiran negatif yang memang menguasai diri semenjak pertama tiba di kamar ini tadi berhasil membuatku enggak bisa berpikir jernih. Makanya aku berteriak.

Aku enggak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan membalut tubuh dengan selimut yang ada. Aku pikir si Kingkong memang sengaja merencanakan ini, mengingat dia sangat enggak suka sama aku. Ini pasti gara-gara tingkahku yang suka memberontak sama dia.

Tapi kenapa harus menggunakan cara ini? Si Kingkong benar-benar jahat! Aku enggak nyangka dia bisa sebejat ini.

Seandainya Pak Halim dan teman-teman enggak segera datang, mungkin nasibku sudah hancur sekarang. Ya walaupun memang sudah hancur karena mereka menyaksikan aku berduaan dengan seorang cowok.

Namun, mendengar pembelaan dirinya kepada Pak Halim tadi ... sebentar, jadi alasan kenapa si Kingkong ada di taman belakang rumah Pak Halim tadi pagi karena beliau kakeknya?

Apa benar dia hanya salah masuk kamar? Ah, jika memang benar begitu, secara enggak langsung aku membuat namanya tercemar.

Nura, kenapa nasib kamu seperti ini, sih?

Masih dengan posisi berantakan berbalut selimut, kulihat si Kingkong--ralat, Kak Hilman masih berdiri di pintu di dekat sahabatnya yang kuketahui bernama Andra. Aku mengalihkan pandangan saat Kak Andra menatapku.

“Dra, tolong percaya sama aku. Aku salah masuk kamar, Dra. Aku enggak tahu kalau kamar ini ada penghuninya."

Kulihat Kak Andra tidak memberi respons apa pun. Melihatnya, aku malah merasa bersalah. Pasti sakit sekali jika orang yang paling dekat dengannya tidak percaya lagi.

“Andra, jawab aku! Aku enggak pernah ada niatan buruk ke Nura, Andra!” teriak Kak Hilman, terdengar frustrasi. Dia mengacak rambutnya kasar karena Kak Andra bergeming.

Sorry, Man.” Dua kata yang terlontar dari Kak Andra ikut membuatku terpukul. Dada tiba-tiba terasa sakit saat melihat tubuh Kak Hilman luruh di lantai dengan teriakan frustrasi yang terus dilakukan.

Kulihat Kak Hilman berbalik, menatapku yang masih sesenggukan di tempat tidur. Membuat tubuh makin bergetar. Jika kemarin-kemarin aku enggak gentar dengan tatapannya, kali ini beda. Aku bahkan enggak berani menghadap ke arahnya yang kini duduk tepat di hadapanku, dengan keadaan masih bertelanjang dada.

Apa Kak Hilman akan benar-benar melakukan itu karena terlanjur jelek di mata orang-orang?

Aku menggelengkan kepala melihat Kak Hilman makin mendekatkan wajah. Jantung menggila. Seluruh tenaga seolah-olah sirna begitu saja, sehingga aku enggak bisa melakukan perlawanan. Air mata makin merebak.

“Buat apa kamu nangis? Bukannya ini yang kamu mau?" Aku mengeratkan pegangan pada selimut yang membalut tubuh. "Saya enggak habis pikir kenapa kamu bisa-bisanya melakukan ini, Nura. Saya tahu kamu benci sama saya, tapi enggak begini juga caranya!”

Aku menjengit kaget saat Kak Hilman berteriak tepat di telingaku. Aku memberanikan diri menatapnya.

“Oke. Saya minta maaf. Saya tahu saya salah!” Karena emosi, suaraku ikut tinggi. “Tapi--”

“Kamu memang enggak pernah benar jadi orang!” Tatapan matanya menajam.

Astagfirullah, apa ini sisi lain dari seorang Hilman saat marah? Tuhan, kumohon jangan biarkan Kak Hilman khilaf. Aku enggak mau masa depanku hancur.

Tapi, meskipun takut, tetap saja aku bertahan untuk membalas tatapan tajamnya. “Jaga ucapan kamu,” ucapku penuh penekanan.

“Apa?! Memang kenyataannya begitu, ‘kan? Gara-gara kamu teman-teman saya menjauh dari saya."

One Night ProblemWhere stories live. Discover now