6. Hilman - Cemburu

6 0 0
                                    

“Dengar baik-baik ucapan saya." Aku menatap para mahasiswi itu dengan tatapan dingin. "Jangan pernah bertindak seolah-olah kalian tidak pernah melakukan dosa sama sekali."

Kujeda kalimatku untuk menetralkan emosi yang terus mencuat dalam dada. Aku tidak mau lepas kendali lagi.

Kuambil napas kuat-kuat, lalu mengembuskannya perlahan, kemudian melanjutkan, "Saya rasa saya tidak buta. Tapi sebaliknya, kalian yang buta dan tuli. Bukankah kalian hadir saat saya dan Nura klarifikasi pagi itu? Ah, tapi kalau orang buta dan tuli enggak bakal tahu apa-apa, kan."

Orang-orang macam mereka benar-benar menyebalkan. Dikira bakal aku bela karena sejak tadi ikut menyalahkan Nura?

Dasar caper!

"Baik, mungkin kami sudah memiliki cap buruk di mata kalian. Itu hak kalian mau menilai kami seperti apa. Tapi, jangan pernah menyebarkan berita yang enggak kalian tahu kebenarannya bagaimana. Jadi, daripada mengurusi urusan saya dan Nura yang memang sudah buruk, jangan tambah dosa kalian dengan mengulik kesalahan kami.”

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang secara tidak langsung kubela ini, dalam pengamatan sekilas, aku bisa menangkap senyum yang tersungging di bibirnya meski dia menundukkan kepala.

Senang sekali dapat pembelaan dariku? Dia tidak tahu saja dengan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Tunggu saja, wahai musuh bebuyutanku! Ha-ha.

Tercipta keheningan antara aku dan Nura setelah semua mahasiswa dan mahasiswi yang sejak tadi heboh mencibir Nura di sini pergi.

“Makasih, Kak.”

Ini pertama kalinya aku mendengar seorang Fatma Nuraini, si Bebek menyebalkan, yang tiba-tiba muncul dalam hidupku sebagai pengacau, mengucapkan terima kasih. Saking tidak percayanya, aku sampai menoleh dan menatapnya dalam waktu yang cukup lama. Jika diselisik, raut wajahnya tampak ... kacau.

Aku berdeham pelan. Kulihat dia sedikit menjengit kaget. Ternyata dia melamun.

“Saya tidak menyangka gadis keras kepala seperti kamu bisa mengucapkan terima kasih.”

Kulihat raut wajahnya yang merajuk.  Dia berdecak cukup keras. "Saya manusia, punya hati. Ya kali enggak tahu terima kasih?"

O, ternyata.

“Udah, deh. Berhenti cari masalah. Cukup malam itu aja kamu buat gempar dunia."

Sekali menyebalkan, tetap menyebalkan. Lihatlah karakter gadis di depanku ini. Harus benar-benar punya kesabaran ekstra untuk menghadapinya. Aku jadi kasihan sama cowok yang bakal jadi suaminya nanti. Kan kasihan kalau suaminya kalem, istrinya garang seperti singa kayak dia? Pasti habis karena diterkam dengan kegalakan dia setiap hari. Membayangkan saja aku sudah bergidik. Apalagi beneran?

"Heh, yang cari masalah itu siapa? Dari awal saya enggak punya masalah sama kamu, kan? Dasar kamunya saja yang suka bikin onar."

Lagi dan lagi, dia melotot. Mencengangkan sekali. Mata dia tuh tidak sakit apa melotot terus? Sampai-sampai seperti mau berpindah tempat itu bola matanya.

"Terserahlah. Enggak paham saya sama kamu. Dibilangi makasih enggak terima. Kamu ngapain ada di sini?"

Dia mengingatkanku pada tujuan utama kenapa aku bisa di sini, padahal aku enggan sekali untuk menginjakkan kaki setelah kejadian waktu itu. Melihat tatapan kekecewaan yang terpancar dari beberapa mahasiswa yang mengenalku di sepanjang koridor saat aku akan menghampirinya tadi, membuatku ingin tenggelam saja. Aku merasa tidak punya wajah untuk menampakkan diri.

Namun, aku juga tidak akan mengecewakan Mama untuk yang kedua kali. Aku akan bertahan sampai kuliahku berakhir di kampus ini. Meskipun, semuanya akan berubah. Tidak ada lagi sahabat di sampingku. Cap buruk yang menempel padaku, dan semua perubahan yang ada. Baiklah, untuk apa aku mengelak?

One Night ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang