1. Nura - Ada yang Aneh

50 14 78
                                    

Aku mematung di depan pintu kamar indekos karena merasakan kejanggalan. Aku ingat betul tadi mengunci pintu saat akan berangkat sama Linda dan Widya. Namun sekarang, malah enggak terkunci. Berbagai spekulasi mulai bermunculan dalam otak, memicu munculnya ketakutan dalam diri.

Ah, masa iya ada maling, sih? Aku enggak punya barang berharga selain ponsel dan laptop. Apa yang mau mereka ambil, sedangkan kedua barang itu ada dalam tas yang kugendong sekarang? Setahuku juga ini kompleks indekos aman, dan selama aku tinggal di sini, belum pernah mendengar ada yang kemalingan.

Aku jadi waswas. Di sini enggak mungkin, ‘kan, ada penyusup?

Aku celingak-celinguk ke sisi kanan dan kiri. Padahal belum jam sepuluh, kondisi sekitar sudah sepi. Apa anak-anak sudah pada tidur? Biasanya juga sampai jam dua belas masih ramai?

Entah apa yang terjadi, aku tiba-tiba merinding. Segera saja kuraih knop pintu dan memutarnya. Suasana kamar yang gelap langsung menjadi pemandangan pertama. Aku kembali mematung. Rasa waswas itu kian menghantui. Jadi dilema mau masuk apa enggak. Tapi ....

Baiklah. Mencoba abai dengan pikiran yang makin aneh, kulangkahkan kaki memasuki kamar dengan langkah gontai. Enggak lupa memanggil salam.

Karena pening lebih mengambil perhatian, aku kembali memilih mengabaikan keanehan yang menyapa saat pertama aku memasuki kamar ini. Seingatku, selama hampir dua tahun tinggal di sini, aku enggak pernah sekali pun menggunakan obat nyamuk, jenis apa pun itu. Alasannya aku enggak suka baunya. Kalaupun tiap malam harus berperang dengan makhluk-makhluk kecil itu, aku merasa itu lebih baik.

Tapi, saat pertama masuk barusan, aku malah mencium bau obat nyamuk bakar yang begitu menyengat. Aku langsung menutup hidung.

Lama-kelamaan keanehan itu sepertinya enggak bisa aku abaikan. Entah kenapa aku merasa bulu kuduk merinding dan makin cemas. Di samping itu, rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di kamar ini perlahan membuncah.

Tapi kondisi tubuh enggak bisa diajak kompromi sekarang. Alhasil, aku tetap mencoba berpikir positif dan membiarkan lampu kamar tetap padam karena biasanya aku makin pusing jika lampunya dinyalakan.

Kubuka jilbab dan baju, menyisakan kaos pendek dengan celana selutut, lalu menaruhnya asal di samping tempat tidur. Setelah menenggak air di nakas, aku langsung merebahkan tubuh di kasur lantai sederhanaku. Segera memejamkan mata untuk beristirahat.

Ya Allah, hari ini benar-benar melelahkan. Alhamdulillah bisa rebah-rebah juga. Rasanya nikmat sekali tubuhku bisa diluruskan seperti ini.

Baru beberapa menit aku memejamkan mata dan hampir terlelap, dering ponsel malah mengganggu. Menyebalkan. Kenapa juga aku enggak memode pesawatnya tadi. Jadi tertunda, 'kan, istirahatnya.

Mendesah kesal dengan perasaan dongkol, aku bangkit dari tempat tidur kemudian meraihnya di tas. Kulihat nama pemanggil di layar ponsel, ternyata Linda. Langsung kugeser ikon hijau di sana.

“Kenapa, Lin?”

“Kamu sudah sampai? Langsung istirahat, ya, kalau sudah sampai. Aku khawatir sama kamu, Ra. Apa aku susul kamu ke kosan, ya? Aku nginep aja di sana?”

Aku mengembuskan napas mendengar kalimat panjang dari Linda. Itu anak cerewet juga ternyata.

“Linda sayang, bisa enggak ngomongnya pelan-pelan?” ucapku sembari memegangi kepala yang terasa makin pening. Ini pasti karena ocehan Linda. Duh.

Kudengar Linda malah terkekeh di seberang sana. Memang, saat kami masih di taman, aku sempat mengatakan kalau aku pusing sama Linda. Makanya dia mencecarku dengan pertanyaan panjangnya.

One Night ProblemWhere stories live. Discover now