21 | Dealing with The Devil

667 85 107
                                    

"Laki-laki yang memukul istri dan anaknya, mereka tidak seharusnya hidup."
—Jeon Jungkook

***

Lana masih menatap ngeri pada banyaknya percikan darah di punggung tangan Jungkook yang juga mengotori kemeja putih pria itu. Kenyataan jika cairan merah kental itu bukanlah milik Jungkook, melainkan milik laki-laki yang hampir mati dihajarnya, membuat perut Lana melilit dengan cara yang sulit dijelaskan.

"Dengan tatapan seperti itu, aku yakin kau bisa melubangi tubuhku," sindir Jungkook.

Lana langsung membuang pandangan. "Apa nyawa sesorang setidakberharga itu bagimu?"

"Kau membicarakan laki-laki itu?"

"Dan wanita itu."

Ketika Lana kembali melirik noda darah di tangannya, Jungkook mengikuti arah pandangan gadis itu. "Sudah kukatakan, aku tidak suka ada yang menyentuh milikku."

"Milikmu yang mana?"

Jungkook mengalihkan perhatiannya pada Lana, menatap gadis itu lurus-lurus, "Kau ingin kita memperjelasnya?"

Cara Jungkook melihatnya, cara pria itu mengutarakan kalimatnya, Lana merasa pria itu selalu sangat yakin dalam segala sesuatunya. Tampak ia memiliki kendali di tangannya. Membuat pipi Lana memanas seketika, "Terdengar sangat dirimu. Tapi, aku yakin bukan itu alasannya," gumam Lana.

Untuk beberapa saat hening merayap, hanya terdengar deru mesin mobil yang merangkak santai di jalan setengah lengang. Lana pikir Jungkook tidak mendengar ucapan terkahirnya, sampai ketika pria itu kembali bersuara, "Laki-laki yang memukul istri dan anaknya, mereka tidak seharusnya hidup. Dan wanita itu, ia punya kesempatan untuk melarikan diri, tapi justru membuat pilihan bodoh," seperti ibunya, lanjut Jungkook dalam hati.

Perlahan, Lana memutar wajah ke arah Jungkook. Buku-buku jari pria itu memutih seiring pegangannya pada stir mengetat. Tatapannya tajam membelah jalanan di depan, namun fokus pria itu jelas tidak di sana. Melainkan menerawang jauh ke tempat di mana hanya ia yang tahu.

Ingatan Lana kembali melayang pada beberapa saat yang lalu. Saat Jungkook memukul laki-laki asing itu dengan membabi-buta, seolah ia ditulikan dari dunia luar, seakan matanya ditutup untuk hanya melihat dunia yang ia ciptakan. Dan tak seorang pun bisa dibiarkan masuk ke sana. Atau, lebih tepatnya, tak seorang pun yang bisa menarik keluar Jungkook dari sana. Kedua mata pria itu, entah bagaimana Lana dapat melihat bayangan permintaan tolong samar di sana. Untuk alasan tertentu, Lana yakin pria itu tengah menahan sakit luar biasa. Sebuah trauma.

Atau, sebenarnya ada sesuatu yang bisa Lana pancing ke luar. "Bukankah itu seperti sedang membicarakan dirimu sendiri?"

Detik selanjutnya, Lana dapat melihat jika rahang Jungkook mengeras. Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena pria itu berhasil mengosongkan kembali raut wajahnya. "Menurutmu begitu?"

"Tidakkah menurumu juga begitu?" tantang Lana.

Segaris senyum remeh menari di wajah Jungkook. "Mungkin kau lupa bagaimana aku sebenarnya, Alana."

Lana belum bisa menafsirkan kalimat Jungkook sampai pria itu menepikan mobilnya. Di depan sebuah rumah berpotongan minimalis satu lantai dengan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Rumah itu di cat kuning pucat hampir krem dan memiliki halaman berbatu yang tak terlalu luas. Hanya ada bunga kamboja yang tangkainya dibiarkan tumbuh tak terarah dan beberapa rumput liar yang tumbuh di pinggir pagar. Selebihnya, rumah itu terlihat kosong. Bahkan daun-daun kering di halaman pun seolah diabaikan.

Lana tertegun saat ia menyadari jika rumah itu persis seperti rumah yang dilihatnya di rekaman CCTV di komputer Jungkook. Rumah yang ada ibunya.

Dan begitu Jungkook turun dari mobil, tanpa membuang waktu Lana ikut melompat turun. Ia bahkan hampir berlari melewati halaman menuju pintu, meninggalkan Jungkook di belakang. Kepalan tangan Lana masih mengambang di udara, ketika pintu di depannya di tarik dan seorang wanita paruh baya muncul dari baliknya.

THE WATCHERWhere stories live. Discover now