Jadi hari itu, Shania menggeret ku untuk pergi belanja pakaian, sekali lagi, ia mengatas namakan kebodohan ku untuk tidak membawa banyak pakaian karena berpikir di sini akan banyak pakaian, padahal motif dia sesungguhnya adalah memelorotiku untuk membelikannya barang-barang yang cukup keren untuk dipamerkan ke teman-temannya. Well, sekali-kali tak apalah, jarang-jarang juga aku membelikannya apapun.

Aku membeli kebanyakan baju santai, jeans, kaos, kemeja, sneakers, barang-barang yang memang aku butuhkan saat ini. Sementara Shania, saat ku suruh dia memilih satu barang dari toko yang kita kunjungi saat ini, ia memilih sesuatu yang tidak begitu penting, tas tangan. Dari semua barang yang bisa ia pilih, ia memilih tas tangan yang tidak jelas kapan mau ia gunakan. Huh, adik ku tercinta, sungguh tidak bisa menggunakan kesempatan dengan baik. Di toko selanjutnya, seperti yang biasa aku lakukan, aku jatuh cinta dengan heels, lagi, untuk yang beratus-ratus kalinya, tapi kali ini, aku tidak kuasa untuk menolaknya. Keluaran musim terbaru dengan motif yang sungguh menakjubkan dan juga terlihat sungguh indah di kaki ku. Setelah perhitungan konversi dikepala ku, aku mengesek kartuku.

Satu hal yang selalu ku suka saat aku memasuki toko seperti ini adalah tatapan yang merendahkan dari para pegawainya, kenapa? Karena mereka itu penjilat, setelah aku menunjukan niat untuk membeli, mereka akan memberikan tatapan memuja seolah kita dewa. Di awal, mereka selalu berpikir, orang seperti ku tidak akan mampu membeli barang mereka, but guess what?! I got dollar as my salary, bitch! Ha!

"Kak, kau yakin kau tidak akan terlilit hutang?" ucap Shania setelah kita keluar toko

"Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya ku bingung

"Kakak baru saja membayar lebih banyak dari total ini semua hanya untuk sebuah sepatu," ucapnya menjawab dengan ragu

"Ku harap tidak," ucap ku tertawa pelan, "jadi, kemana lagi kita sekarang?"

"Bagaimana kalau kita makan sekarang?" saran adik ku

"Tapi kita belum membeli sesuatu untuk bunda, ayah, dan Brody" ucapku ragu

"Kau serius kak?" ucapnya memastikan seolah aku sudah gila atau sesuatu

"Kau mendapatkan sesuatu, kenapa mereka tidak?" Tanyaku polos

"Baiklah, kau mau membelikan mereka apa?" balas Shania menyerah

Berbagai benda aku lihat, tapi terlalu banyak pilihan dan aku tidak tahu apa yang harus dipilih. Setelah pilihan berat, untuk ayah ku sudah ku temukan, begitu juga Brody, bagaimana dengan ibu ku? Apa yang harus ku berikan padanya? Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus ku berikan pada ibu ku. Shania memberi tahu ku kalau ibu ku sudah memiliki semua yang bisa dia pikirkan. Mungkin aku akan berkonsultasi dengan sang ahli pemberian hadiah.

Sesampainya dirumah, penyesalan baru akhirnya datang. Kenapa aku membeli boots ini? Kapan aku akan memakainya? Apakah layak untuk ku beli? Kenapa aku baru saja menghabiskan uang sebanyak itu untuk sebuah sepatu? Sungguh tidak masuk akal, satu saat aku yakin dan di saat berikutnya tidak begitu. Sungguh telat dilema ini datangnya.

Besoknya, saat hari pengadilan akhirnya tiba, tentu saja aku mengaku diriku tak bersalah pada hakim. Hakim dimana-mana harus adil, jadi aku percaya ia tidak akan memperpanjang hal ini karena uang. Saat giliran ku membela diri datang, aku sudah menunggu terlalu lama, perkiraan jam yang ditulis di slip tilang meleset hampir setengah jam. Betapa tidak profesional.

Guess what? Aku mendapat hakim adil dan terburuk yang pernah aku temui. Ia mengulur ku untuk mendengar pembelaan dari polisi yang menilang ku. Hello, aku tidak butuh itu! Kenapa keadilan saja susah sekali di kota ini?! Semuanya uang, apa-apa uang, seolah uang adalah dewa. Selipkan sedikit uang dan kau bebas, tapi sayangnya aku tidak mau itu, aku tidak akan membayar sesuatu yang tidak aku inginkan, itu bukan keadilan. Pantas saja korupsi meraja rela.

Love Me Not.Where stories live. Discover now