"Lo pasti lagi kebingungan, ya? Mau tau solusinya?" tanya Jessi, seakan sudah memiliki jawaban atas dilemanya.

Sejenak, Vanta mengerjap mendengar suara ringan di ujung telepon. Lalu dengan hati-hati bertanya, "Apa ... solusinya?"

"Gampang. Tinggal pacarin aja dia."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Hah?! Gila lo! Gue nggak ada rasa apa-apa, masa—" pekikan terlambat dari Vanta segera terputus.

"Lo sama Alvin dulu, emang tadinya suka? Lo bisa jadian sama dia emang karena kalian pedekate dari awal? Nggak, kan? Kalian malah berantem."

"Tapi mana mungkin gue ...—"

"Orang juga bisa suka karena terbiasa. Apa salahnya dicoba?"

"Gue ... nggak bisa, Jes. Gue beneran nggak ada feel. Apalagi lo juga pernah ...."

"Ta, stop mikirin orang lain. Pikirin diri lo sendiri. Apa yang lo pingin? Fokus sama kebahagiaan lo. Gue juga pingin liat lo semangat lagi kayak dulu. Siapa tau dengan ada seseorang yang gantiin posisi Alvin, lo bisa berhenti murung."

Vanta kembali diam termenung. Perasaan berat menghimpitnya. Sungguh, kalau dia menolak Toto secara langsung, suasana mereka di kantor akan berubah tidak nyaman. Tetapi dia juga tidak bisa menerima lelaki itu.

Terlebih lagi, apa kabar perasaan Jessi? Dia juga harus memikirkannya. Yang Vanta tahu, Jessi itu cukup populer. Sudah beberapa kali berganti pacar. Tapi tidak satu pun yang bertahan lama. Pasti rasa sukanya pada Toto turut andil dalam hubungan percintaan Jessi.

"Gue pikirin dulu." Hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Vanta akhirnya.

***

Jessi berhenti melangkah dan menjauhkan ponselnya setelah selesai bercakap dengan sang sahabat di telepon. Raut bersemangat dan sudut bibir yang semula naik mulai luruh. Kelima jarinya meremas tali tas kertas berisi skincare yang baru dia beli. Matanya mulai memanas dan berkabut.

Dia butuh tempat duduk.

Di satu sisi, ia berharap seseorang menarik Vanta keluar dari kenangan yang membelenggunya. Namun, orang yang sekiranya memiliki peluang besar itu adalah seseorang yang pernah disukainya. Ralat, bukan pernah. Bahkan hingga detik ini, mendengar namanya saja hatinya masih bereaksi.

Ternyata cinta tidak seindah lirik-lirik lagu yang dilantunkan dunia, tak semulus drama romantis yang sering ditontonnya, atau rangkaian sajak manis yang dia lirik dari buku-buku koleksi Vanta. Mengagumi dan mengamati saja tidak cukup.

Tetapi, jika sahabatnya yang dipilih lelaki itu, dia bisa apa? Lain cerita jika Vanta menjadi rivalnya. Jessi akan tetap jujur dan bersaing dengan sehat. Nyatanya, ini bukan soal persaingan. Hanya soal hati yang tidak bisa dikondisikan.

"Kamu ... Jessi kan?" Suara rendah seseorang membuatnya mendongak dan berhenti melangkah.

Pria yang dikenalnya sebagai kakak dari sahabatnya itu menatap dengan bingung. Kemudian sedikit membelalak ketika setitik air dengan lancangnya menetes dari sudut matanya.

"Loh, kamu kenapa? Kamu sendirian di sini? Nggak sama Vanta?" Dengan gerakan panik laki-laki itu berusaha berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan pada gadis yang sedang menangis.

Kepalanya berputar ke sekeliling mencari ide. Hingga menemukan satu tempat yang dirasa pas, Vodka lalu berkata, "Duduk di sana dulu ya?" Sambil menunjuk salah satu kedai minuman dan donat yang tampak sepi.

Tidak sempat berpikir lagi, Jessi hanya menurut mengikuti Vodka.

"Kamu sendirian?" Sambil menunduk, gadis itu mengangguk pelan.

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now