Yang namanya sepihak akan selalu sesak

Mulai dari awal
                                    

Bagiku, keduanya sama-sama mengerikan.

So, setelah melewati banyak hari, meminta Mbak Andin untuk memberiku waktu—dengan harapan mengulurnya sehingga dia berubah pikiran, ternyata tetap tidak—aku punya solusi yang kuharap ini adalah terbaik.

Aku membuat surat kontrak kerja yang baru.

Kami akan sangat-sangat profesional.

Aku hanya bisa mengganggu Mbak Andin di jam kerja, yakni mulai dari pukul 08.00 - 17.00, Senin-Jumat. Kecuali sesuatu bersifat urgent, maka kami akan mendiskusikannya nanti.

Kabar baiknya, Mbak Andin sudah menyetujui dan menandatangani kontrak baru itu.

Well, meskipun Davka tidak terima dan merasa dikhianati, tetapi apa boleh buat, dia hanya orang luar.

Lagipula, alasannya tidak meyakinkan.

Hanya masalah akademik yang tidak terlalu ia sukai, dia merasa perlu ikut campur masalah kontrakku dengan Mbak Andin.

Seandainya, semangat dan passion-nya dalam pendidikan sama kuatnya dengan energinya bermain media sosial, hidupnya pasti akan tenang.

Sekian untuk masalah kontrak dengan Mbak Andin.

Meski lumayan memusingkan, tetapi aku berhasil keluar dari masalah tersebut dan ... ya, tidak terlalu gila.

Masalah kedua di tahun ini adalah ... mengagumi laki-laki dari kejauhan.

Yang satu ini, mau aku jungkir balik pun, rasanya aku tidak pernah bisa menemukan solusi tepat.

Kemampuan Mbak Andin sebagai manusia hebat pun belum bisa menyelesaikan permasalahan yang berbau hati manusia. Karena seperti katanya: hati manusia siapa yang tahu, Kak.

She's right though.

"Kakak, hello!" Daun pintuku terbuka, kepala Mama nyembul dengan senyuman sangat lebar. "Hari ini mau ke mana?"

"Kenapa, Ma?"

"Ck, kalau ditanya malah balik nanya."

"Jawabanku tergantung apa nanti yang mau Mama bilang." Aku tertawa. "Kalau aku mau, aku akan bilang jadwalku kosong, kalau aku keberatan, aku akan puter otak buat cari kesibukan."

"Oh gitu?" Ia memasang wajah sedih, kemudian melangkahkan kakinya memasuki kamarku. "Gini, lho, Kak." Setelah berhasil duduk, Mama memijat pelan kakiku sambil memulai—sepertinya obrolannya akan panjang. 'Kalau Davka nanti Mama masukin pesantren, menurutmu gimana?"

Aku refleks tertawa.

Mata Mama melotot.

"Maaf, maaf, aku bukan ngetawain pesantren, Mama." Aku mengibaskan tangan, kemudian bangun dan duduk tegak bersandar pada kepala ranjang. "Davka itu anaknya bebas banget, Mama tau, kan? Sekolahnya aja tuh kalau diturutin anaknya nggak mau itu sebenernya. Tugas aja harus perlu paksaaan berapa banyak orang?"

Mama memasang wajah sedih dan lelah.

"Coba kalau dia bahas soal otomotif, bahas tentang motornya, aspek-aspek tentang mobil, bahas tentang peluang bisnis baru, olahraga sama temennya, keliatan banget hidup."

"Tapi bukan berarti jalani semua itu nggak perlu bekel pendidik, dong?"

"Betul!" Aku mengangguk kepala kuat. "Itu betul, tapi mungkin bukan bekel utama Davka. Nanti di pesantren dia gimana? Atau ada pesantren yang boleh pulang-pergi?"

"Kayaknya enggak."

"Nah, nanti dia gimana? Kakak sih nggak yakin Davka mau, kecuali Mama-Papa paksa dia, ya. Lagian kenapa tiba-tiba kepikiran pesantren?"

cinta bukan karena privilegeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang