Lantas begitu lift tertutup, meninggalkan eksistensinya sendirian disana, raut muka Jiyeon kembali datar seperti semula. Ia memerhatikan refleksi dirinya yang terpantul dalam ruangan petak logam itu.

Semoga saja ia tidak bertemu dengan Ayah Jungkook.

Tuan Shin yang terkenal menentang hubungannya dengan Jungkook.

Pria tua itu sangat menolak keras saat mengetahui putranya menjadi kekasih dari putri pemilik salah satu perusahaan manufaktur—Prism.Corp; Son Shinwan. Memiliki seorang putri tunggal yang tidak menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang perkuliahan dan terkenal berandal.

Berita yang dibuat clickbait itu sedikit merubah pandangan orang-orang terhadapnya menjadi negatif, pun keluarga Shin ikut terhasut. Entah siapa yang membuat artikel demikian, dan Jiyeon sempat kehilangan asa untuk berinteraksi dengan orang-orang.

Berharap jika kedua orangtuanya akan membantu mengubur berita itu, nyatanya nihil. Satu-satunya entitas yang paling berkontribusi dalam kehidupannya dikala ia terpuruk adalah Jungkook seorang.

Lelaki Shin itu selalu hadir bersamanya saat Jiyeon meringkuk di sudut ruangan kamar sembari menutup pendengaran dari bisikan-bisikan penuh cemooh. Memberikannya rengkuhan yang kelewat hangat, membuainya pada bunga tidur yang menghadirkan kebahagiaan semu, pun berusaha mengembalikan semangat Jiyeon yang nyaris mati.

Mengingat hal itu selalu membuat Jiyeon ingin menangis. Sebab, sekarang ia diam-diam sudah mengkhianati cinta tulus yang diberikan Jungkook. Padahal ia sudah berusaha untuk menjaganya. Tapi akibat tindakan sembrononya malam itu, Jiyeon harus merelakan keperawanannya direnggut oleh seseorang yang sama sekali tidak pantas mendapatkannya.

Dentingan lift berbunyi dan berhenti tepat di angka dua puluh. Ia mengusap sudut matanya yang sedikit berair dan mulai melangkah keluar setelah menarik napas untuk membuat respirasinya sedikit rileks.

Jiyeon mengedarkan irisnya, lalu sesekali ia membungkuk dan memberikan sapaan pada orang-orang yang berpapasan dengannya.

Sampai di depan pintu masuk ruangan Jungkook, Jiyeon tak langsung masuk begitu saja. Ia menjeda langkah dan stagnan untuk sesaat.

Ada gelak tawa asing yang bersahutan terdengar di dalam sana dengan suara Jungkook yang mengerang. Jiyeon diliputi rasa bimbang saat akan masuk ke dalam, tapi ia tidak punya opsi lain lagi.

Lantas setelah meneguhkan diri, Jiyeon mulai mendorong daun pintu dan saat menciptakan celah yang kecil ia melengoskan kepala sedikit guna mengintip situasi di dalam yang cukup ramai.

Ah, tidak. Hanya ada Jungkook dan satu orang temannya, mungkin.

Tubuh Jiyeon terpaku disana sebab pemandangan di depan sana adalah Jungkook yang tengah berkeringat hebat dengan wajah yang memerah disertai peluh yang terlihat membasahi kerah kemeja dan jas kerjanya. Kemudian ada—

"Kak Seokjin?!"

Refleks Jiyeon bersuara. Menyentak kedua pria disana dan memerhatikan presensinya.

"J-ji?!" Jungkook lantas terkejut. Pria Shin itu dengan cepat menutup layar laptopnya dengan sengaja membantingnya dan berusaha bangkit walau susah payah. "A-aku tidak tau kau datang," bisiknya.

"Ya, aku sengaja tidak memberitahu mu," jawab Jiyeon sambil memandangi Jungkook dengan tatapan curiga. "Oh, dan aku juga membawa bekal makan siang ... dan ada beberapa snack juga," ungkapnya sambil ia mengangkat kantong plastik besar.

"Hei, Ji. Sudah lama tidak bertemu," itu Ahn Seokjin. Lantas pria itu mendekat dan menjabati tangan Jiyeon seraya tersenyum. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik, Kak. Aku dengar dari Seulhee kau sudah pulang. Kami berpapasan di supermarket dan dia bilang kau memintanya untuk belanja disana."

ᴇʟᴇᴜᴛʜᴇʀᴏᴍᴀɴɪᴀ [M] ✓Where stories live. Discover now