13|Dua anggota tahu

Start from the beginning
                                    

”Astaga kalian ini,” gumam Abimanyu yang menghela napas kasar.

”Abang cuma punya waktu bentar, jam 10 Abang harus berangkat ke kampus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


”Abang cuma punya waktu bentar, jam 10 Abang harus berangkat ke kampus. Jadi, kenapa tiba-tiba kesini? Dan kamu tau? Kamu itu gak lagi liburan semester loh...” tanya Bagaskara dengan wajah serius. Dia benar-benar terkejut saat kontrakannya kedatangan tamu. Ia pikir, hanya teman sejurusannya yang ingin meminjam buku, gak tahunya malah sang adik yang datang jauh-jauh dari Jakarta.

Caturangga yang baru saja memejamkan mata, langsung bangun dari tidurnya. Dia kemudian duduk di kasurnya.

”Cuma main doang,” celetuknya santai.

Bagaskara terkekeh geli. Main? Main katanya? Anak ini punya otak gak ya?

”Kamu kalo bego, jangan kebangetan lah. Mana ada main berkedok kabur dari rumah? Ada masalah apa lagi sama bang Abi? Uang kamu kurang? Motor kamu rusak? Minta beli motor baru tapi gak di beliin?” Bagaskara yang biasanya selalu ramah saat bicara dengan Caturangga, tapi saat ini. Nada pria itu sangat amat berbeda. Dia jadi serius dan sedikit menakutkan jujur saja. Catur sendiri, tak berani menatap mata abangnya.

”Catur, lihat mata Abang. Pasti ada yang lagi kamu sembunyiin, makanya kamu nekat kesini.” Caturangga tak bergeming, anak itu justru bolak-balik merotasikan bola matanya untuk menghindari tatapan sang Abang.

”Kalo kamu laki-laki, kamu berani tatap mata Abang. Kecuali kalo kamu banci—” Catur spontan menatap mata Abangnya.

”Iya! Ada alasan besar yang buat gue berani dateng kesini tanpa pikir panjang!” Bagaskara tertegun. Dia kemudian menatap dalam adiknya.

”Abang lo, Abang kebanggaan lo itu. Bentar lagi mau mati!” Bagaskara yang mendengarnya pun spontan mencengkram kerah adiknya dengan mata memburu.

”Kamu yang sopan sama abang-abang kamu ya. Meskipun orangtua kita udah meninggal, tapi bang Abi berusaha keras untuk mendidik adik-adik nya jadi anak yang sopan dan gak preman kayak kamu!” Bagaskara marah. Dia benar-benar marah. Jelas. Bagaimana tidak? Selama ini Bagaskara diam bukan karena ia berada di pihak Caturangga, hanya saja dia berusaha memahami adiknya yang belum terbiasa.

”Gue gak peduli, apa kalo gue bersikap sopan mulai sekarang itu bisa ngebuat hidup Abang lo panjang? Gak bangsat!” Caturangga mendorong sang Abang. Dia langsung beranjak dari kasur menghampiri tasnya yang digantung di belakang pintu.

Pria itu mencari surat yang telah ia satukan dari tong sampah.

Caturangga menghempaskan selembar kertas yang penuh dengan lakban ke atas kasur.

”Lo baca baik-baik,” perintah Caturangga.

Bagaskara melirik Caturangga sejenak sebelum akhirnya membaca surat tersebut.

”Bang Abi kepergok pingsan di tempat latihan tinju gue, katanya mimisan gak berhenti. Dan ternyata emang bener, wajahnya saat itu bener-bener pucet dan gue lihat-lihat, dia jadi kurusan,” ungkap Caturangga.

Bagaskara membekap mulutnya usai membaca. Air matanya tak dapat dibendung dan tiba-tiba menetes perlahan. Dadanya sesak. Tubuhnya jadi panas dingin sekarang.

”Dan Lo tau apa yang dia lakuin meskipun udah di diagnosis penyakit kanker? Dia tetep kerja bahkan sampe lembur dan jarang pulang. Sejauh ini, dia bukan jadi kurir aja, dia juga jadi kuli bangunan yang di panggil kalo di butuhin.” Caturangga menarik napasnya.

”Dan yang bikin gue aneh sama dia, kenapa dia gak pernah ngeluh atau bilang capek barangkali sekali? Kenapa dia harus sok kuat dan pamerin senyum palsunya itu di depan adik-adik? Dia gak mau buat kita khawatir tapi dia malah nyembunyiin penyakitnya kayak gini. Bukannya kalau dia bersikap kayak gini, adik-adik malah bakal sakit berkali-kali lipat?” Caturangga menatap langit-langit sejenak. Wajahnya terlihat sedikit frutasi dan tatapannya menjadi kosong.

”Sekarang, gue bingung. Gue khawatir. Gimana nasib dan perasaan yang lain.” Bagaskara mengepalkan tangannya, mendadak emosi di dalam dirinya meledak.

Pria itu beranjak dari bangku, dia kemudian reflek meninju wajah Caturangga hingga adiknya tersungkur ke lantai.

”Di saat kayak gini, lo baru punya perasaan? Kemarin-kemarin kemana aja? Lo tau? Bang Abi hampir setiap harinya nyalahin diri sendiri tentang kegagalan dia karena gak bisa nyenengin lo. Bahkan 1000 kebaikan yang udah bang Abi lakuin buat lo, bakal sia-sia aja karena satu kesalahan yang bang Abi lakuin. Oh enggak, itu bukan kesalahan. Apa salahnya jawab telepon Mama di hari ulang tahunnya?” napas bagask naik turun. Akhirnya dia bisa meluapkan semua emosi yang terpendam.

Caturangga tertunduk lesu. Pria itu memilih diam. Memang benar. Selama ini, Caturangga terlalu jahat dengan abangnya. Ia masih tidak bisa terima dengan kematian orangtuanya. Seandainya saat itu abangnya tidak menjawab telepon, bukankah takdir orangtuanya akan tetap sama?

Caturangga hanya terjebak di masa lalunya, kesalahannya adalah tidak ada satupun yang berhasil menariknya termasuk Abang pertamanya. Kalau sudah begini, satu-satunya yang bisa diandalkan hanya diri sendiri.

”Kita pulang sekarang. Abang bakal minta izin sama ketua kelas——”

”Gak usah.”

”Kenapa? Kamu masih mau bebanin pikiran bang Abi—”

”Kasih gue waktu buat perbaikin semuanya.”

Suasana mendadak hening. Bagaskara benar-benar terkejut dengan penuturan sang adik. Tapi kalau itu benar, Bagaskara akan benar-benar senang dan bersyukur tiada henti.

Caturangga kemudian bangun. Pria itu mendekati sang Abang.

”Lo fokus aja sama kuliah lo, biar gue sama yang lain ngurus bang Abi. Untuk masalah penyakitnya, cukup kita aja yang tau.”

Ada yang masih inget sama story ini? Atau udah lupa karena saking jarang update? Hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada yang masih inget sama story ini? Atau udah lupa karena saking jarang update? Hehe

No Time To DieWhere stories live. Discover now