"Lo ngapain? Emang kita ada janjian?" Tanya Rifa memastikan.

Aldino memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Cowok itu bahkan belum menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Rifa.

Rifa mendengus pelan. Gadis itu segera mengganti pakaiannya dengan sweater dan celana training. Setelah terlihat lebih rapi, dia kemudian menghampiri cowok penuh kejutan itu yang saat ini ada di depan rumahnya.

"Ini ada yang mau lo bahas apa gimana sih? lagian udah gak ada yang harus dibahas juga kemarin kan Rifqi yang kepilih," Tanya Rifa dengan kedua alisnya yang ditekuk.

"Lo kelewat rajin deh serius."

Aldino tidak mengatakan sepatah katapun. Cowok itu kemudian menolehkan kepalanya menghadap sebuah sepeda yang tersimpan rapi di garasi. memberikan kode dengan menoleh kepalanya pada sepeda yang tersimpan di teras rumah gadis itu.

"Lo ngajak gue sepedahan? Al terakhir gue pake itu sepedah pas kelas enam SD," rengek Rifa.

"Gue tahu lo gak suka olahraga apalagi di minggu pagi kaya gini," ujar Aldino dengan suara datarnya.

"Sebagai hukumannya karena pemilihan yang kemarin, lo harus ikut gue sepedahan," Aldino melanjutkan ucapannya.

Jantung Rifa mencelos, "Kelewat sadis ya lo bener-bener deh."

"Gak ada hukuman yang lebih ringan lagi apa?" Rifa memulai sesi negosiasi.

Aldino mengabaikan permohonan dari Rifa. Cowok itu justru kembali duduk di dudukan sadel sepedanya.

"Satu..." Aldino mulai berhitung.

Rifa terbelalak. Dengan penuh keterpaksaan gadis itu segera bergegas mengenakan kedua sepatunya. 

"Dua..."

Rifa langsung mempercepat langkahnya membawa sepeda itu keluar dari garasinya, "EEHHH IYA IYA!! gak sabaran banget sih!" 

Seulas senyum Aldino terbit. Sayangnya Rifa tidak sempat menyaksikannya karena cowok itu langsung mengalihkan pandangannya dan segera mengayuh sepedanya.

Rifa buru-buru mengikuti cowok itu dengan sepedanya. Jujur saja dia sedikit kesulitan untuk mengejarnya. Gadis itu memang tak pernah berhasil untuk menggapai Aldino.

"Al jangan cepet-cepet dong! Ini gue baru belajar lagi naik sepeda," sorak Rifa dengan napasnya yang tersenggal-senggal.

"Bilang aja gak bisa," sahut Aldino sambil mengayuh sepedanya dengan santai. Namun tetap saja Rifa kesulitan untuk mengejarnya.

"Enak aja! Gue kan udah bilang terakhir gue sepedahan tuh kelas 6," balas Rifa tidak terima.

Aldino kembali menimpali ucapan seorang gadis di belakangnya itu, "Bohong, harusnya kalau pernah bisa sekarang juga lancar dong."

Tanpa Rifa sadari, Aldino hari ini jauh lebih menyebalkan dan cerewet sekaligus. Cowok yang dikenal dengan sikap cuek dan dinginnya kini tampak krisis identitas. Hari ini dia terlihat sedang tidak menjadi dirinya sendiri sama sekali.

"Dih sembarangan ya kalo ngomong, buktinya ini gue masih tetep bisa ngejalanin ya!" Rifa mengayuh sepedanya lebih cepat lagi, kali ini dia mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mengejar Aldino.

Senyum Rifa mengembang ketika dia berhasil mengikis jarak diantara dirinya dan Aldino. Namun detik itu juga Rifa menenggelamkan senyumnya kembali. Aldino sengaja mempercepat ayuhannya.

"Al lo gila–"

Rifa terdiam seketika. Gadis itu tidak melanjutkan perkataannya. Tanpa disadari dia memelankan ayuhannya. Kedua matanya terpaku pada sunrise yang muncul dibalik pepohonan di kompleknya. Pemandangan yang ada disebelahnya saat ini berhasil membuat dirinya terbungkam. Jika dia bisa melihat pemandangan seindah ini Rifa rela untuk bangun pagi di setiap harinya.

Rifaldino (PREQUEL IPA & IPS) [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora