Rasanya Mati

1.5K 286 2
                                    

Benar, dia Tambi Balau. Ninik santet berambut panjang abu-abu yang mengenakan ikat kepala merah, serta gelang manik-manik.

Ali memang tak salah lihat. Bola matanya seketika melebar menyadari sedang berhadapan dengan sosok berbahaya itu.

Bagaimana bisa aku sampai ada di tempat milik ninik santet ini? Siapa yang sudah membawaku ke mari? batinnya bertanya-tanya.

Kedua kening hitam pemuda itu mengernyit, berusaha mengingat-ingat yang sudah terjadi sebelumnya. Namun, otaknya terasa kosong. Tak mampu mengingat apa pun. Ali mulai gelisah.

Tambi Balau berdiri membungkuk di depan pembaringannya. perempuan tua itu masih tak berhenti membaca mantra dengan suara serak terengah-engah. Sekarang malah semakin menggila. Tubuhnya mulai membuat gerakan-gerakan aneh. Leher mengangguk-angguk, pantat digoyang-goyang, mirip itik betina kebelet kawin.

Ali menatapnya ngeri. Dada turun naik, napas memburu. Ingin sekali segera kabur dari sana, nyatanya seluruh tubuh Ali kaku tidak bisa bergerak. Begitu pun mulutnya, tak bisa mengucap sepatah pun kata.

"Kheeer ... gheeek!" Ada suara tak jelas dari sudut ruangan.

Ali berusaha melihatnya lewat ekor mata. Ternyata bukan cuma dia yang ada dalam ruang sempit itu. Tak jauh dari sisinya ada Ipan, yang tampak terkapar beralas selembar tikar pandan, dengan kondisi tak sadar.

Mencengangkan bagi Ali, Ipan tampak basah kuyup oleh darah. Tubuh kerempengnya berkelojotan kejang layaknya cacing kepanasan, mata terbalik hingga memutih. Keadaannya sangat menyedihkan. Apa yang sudah Tambi Balau lakukan pada temannya itu?

Gubruakk! Gubruakk! Jedug!

Bunyi berisik, akibat tubuh Ipan terbanting-banting sendiri membentur dinding dan lantai, sampai ruangan pun terasa ikut bergetar. Ali kian merasakan hatinya gentar, menahan napas tak sanggup melihat kawannya tersiksa. Pasti sakit sekali.

Sihir apa yang sedang Tambi Balau lakukan pada mereka berdua? Dasar iblis! Bermacam sumpah serapah tak mampu terlontar. Dada Ali terasa ingin meledak menahan amarah.

Sebentar lagi mungkin hidup mereka berdua akan berakhir di tangan perempuan tua itu. Tak ada harapan bagi mereka untuk selamat.

Udara dalam ruangan terasa sesak oleh kepulan asap panas pedupaan. Pupil Ali bergerak liar, mencari jalan untuk keluar. Berandai-andai dirinya bisa berontak dari ninik sihir di hadapan.

Tempat yang mengurung mereka bukanlah bangunan kokoh. Dinding maupun atapnya hanya terbuat dari daun rumbia yang dijalin rapat. Cahaya matahari tampak menerobos dari celah lubang-lubang kecil pada atap, membuat garis lurus ke atas lantai yang hanya terbuat dari tanah. Andai saja tubuh bisa bergerak, mudah sekali menerjang dinding  itu. Ali berdecak kesal dalam hati. Menyesali ketidakberdayaannya.

"Kaaakk ... kaaakk ....!" Entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba seekor burung gagak hitam muncul mengepakkan sayap, lalu hinggap ke bahu kurus Tambi Balau. Hewan kecil itu berkauk-kauk membisikkan sebuah berita penting kepada majikannya.

"Humm ... hu'um, hu'um, hu'um ...." Dengan mulut terkatup rapat, Tambi Balau mengangguk-angguk paham. Seolah sedang berbincang dengan seorang kawan.

Makhluk apa gerangan, seekor burung bisa membisiki manusia? Gagak jadi-jadian, kah? Ali mendelik menatap si burung. Gagak hitam sialan itulah yang pernah mematuki tangan Ali hingga berdarah. Sampai sekarang pun bekas goresannya masih membekas.

Pintu terbuka lebar. Adaw, anak lelaki besar Tambi Balau melangkah masuk. Kedua tangannya memegangi sebuah waskom seng, berisi cairan merah kental berbau amis. Mata kelam miliknya saling beradu dengan mata Ali. Wajah keras Adaw seperti biasa, dingin tanpa ekspresi.

Orang aneh! umpat Ali dalam hati. Tak sekalipun Ali pernah menyaksikan dia bicara. Sepertinya laki-laki besar itu bisu.

Adaw mendekatkan waskom ke depan wajah ibunya. Tambi Balau kembali merapalkan mantra-manta. Sesekali mulutnya yang keriput menyemburkan air liur ke dalam isi waskom.

Di pojokan ruang, tubuh Ipan yang memerah darah sudah berhenti bergerak, diam kaku tak bersuara. Mungkin Ipan sudah mati, tebak Ali. Sebentar lagi aku menyusulmu, Pan. Dipejamkannya mata. Menunggu pasrah pada apapun yang terjadi.

Tak apa mati, tak ada jua yang menangisiku. Selamat tinggal dunia, selamat tinggal mamak, abah, ujarnya pilu tanpa terucap. Ada hangat yang merembes pada kedua sudut mata Ali.

Byuuur!

Tiba-tiba cairan merah dan amis dalam baskom diguyurkan Tambi Balau ke sekujur tubuh Ali. Mata pemuda yang tadi terpejam seketika melotot merah, merasakan panas dan sakit luar biasa.

"Kyaaaaaa!" Spontan mulut Ali menjerit keras dan panjang. Padahal tadinya menggerakkan bibir pun dia tak mampu. Seluruh tubuhnya kini basah oleh darah segar. Sementara Tambi Balau kembali heboh mengucap mantra serta menari-nari dengan gerakannya.

Tubuh jangkung Ali bergetar hebat merasakan panas dan sakit yang melebihi ambang batas. Seolah dirinya sedang direbus dalam air mendidih. Kedua bola mata Ali sampai berubah putih. Beberapa lama tubuhnya berkelojotan kejang.

Bruagk! Bruagk! Gedebug! Bugk!

Sama halnya yang terjadi pada Ipan. Tubuh Ali pun menggelepar-gelepar tak terkendali, terbanting-banting keras membentur dinding dan lantai. Seakan ada seseorang yang sedang menganiayanya.

"Kaaakk... kaaakk....!" Gagak hitam terbang sambil berkauk-kauk mengitari tubuh pemuda itu.

****

Beginikah rasanya mati?

Berada dalam kegelapan,  menatap langit malam bertaburan bintang. Tubuh terasa melayang di angkasa luas. Damai dan tenang.

Manik mata Ipan menatap nanar pemandangan yang terhampar luas di hadapannya. Bulan sabit berwarna kuning pucat, tampak digelanyuti awan tipis.

Sepi.

Hanya terdengar siulan lembut angin malam.

Lalu ke mana malaikat Munkar? Bukankah seharusnya saat ini dia didatangi malaikat berwajah menakutkan, bersenjata palu godam itu? Ditanyai dan diminta pertanggung jawaban tentang perangai buruk selama hidup di dunia. Jika tak mampu menjawab pertanyaannya maka palu godam akan dipukulkan ke kepala manusia hingga hancur, kemudian dikembalikan lagi pada bentuk semula. Begitu terus hingga saatnya hari pembalasan.

"Ah, ternyata semua bohong. Mana? Tak ada apa pun," gumam Ipan mencebik.

Kedua sudut bibirnya lalu tertarik ke atas, membuat lengkung senyuman. "Enak ternyata mati. Kayak mabuk lem."

Senyum Ipan semakin lama semakin lebar. Kening naik turun, rautnya terlihat sangat konyol.

"Hihihihi ... haaahahahaha ..!" Ipan tertawa terbahak-bahak.

"Husst! Diam kau! Dasar bungul!" bentak sebuah suara serak.

Ipan sontak terhenyak kaget. Malaikat Munkar?

"Siapa bilang kau sudah mati? Kalau kau mati, pasti kau sudah disiksa dalam kubur! Tak ada enaknya," celetuk suara itu lagi, seolah bisa membaca pikiran Ipan.

"Hah, belum mati kah aku?" Kedua tangan Ipan meraba-raba dada. Degub jantungnya masih terasa berdetak kencang. Lalu mengendus kulitnya yang terasa berminyak serta berbau aneh. Diamati suasana sekitar yang gelap berkabut. Meraba-raba lagi ke sekelilingnya yang dibatasi oleh dinding papan yang berbau lumut.

"Ini di mana? Kenapa gelap sekali? Kau siapa?"

Tess ....

Sebuah pematik api menyala, menerangi. Dua raut wajah kemudian terlihat jelas. Wajah milik Tambi Balau serta anak lelakinya Adaw. Mereka duduk jongkok berdampingan di sisi Ipan.

"Kyyaaaaaa!" Ipan menjerit kaget, melihat penampakan ibu dan anaknya itu.

To be continued....

SUSURWhere stories live. Discover now