Sedang Diawasi

1.7K 309 2
                                    

Tubuh seekor anjing hutan yang tercabik-cabik menghalangi jalan setapak yang akan mereka lalui. Bangkai itu tampak masih baru. Darah beku yang berhamburan di sekitarnya masih berwarna cokelat kemerahan. Mamat memanjang-manjangkan leher, ingin ikut melihat kondisi di depan.

"Apa kau punya pikiran sama denganku, Pan?"

"Maksudmu ini ulah orang itu juga? Tapi, untuk apa?" Ipan balik bertanya. Bola matanya lalu melebar. "Jangan-jangan orang itu seiko, Li. Dia bunuh binatang hanya buat senang-senang. Kayak di pilem-pilem itu. Hiiih ... ngeri!"

"Kalau dia seiko, kenapa tak habisi kita saja sekalian tadi malam?"

Keduanya sedang membicarakan laki-laki berbadan besar, yang membawa babi hutan.

"Oho, jangan salah!" Ipan menggoyang jari telunjuknya di depan wajah Ali, memasang mimik bengis, mata menyipit mengintimidasi. "Orang seiko lebih menikmati, kalau membunuh korbannya dengan cara pelan-pelan. Korban dijebak, dibuat takut setengah mati, disiksa, lalu dibunuh satu per satu."

"Kau sedang menakut-nakutiku kah, Pan?" Ali menelan ludah. Teori Ipan barusan lumayan mengena.

"Biar aku tak takut sendirian. Kita takut sama-sama, heheh ...," ujarnya jujur, terkekeh cengengesan.

"Belatimu masih ada, kan?" tanya Ali.

"Siap!" jawab Ipan lugas, lagaknya bak prajurit yang siap tempur. Menyingkap kaos pada pinggang. Terselip sebilah belati di situ.

"Kita harus lebih waspada dari sekarang! Hayuk lanjut jalan! Sekarang Mamat jalan di tengah. Kau di belakang, Pan." Ali mulai mengatur pasukannya.

"Kenapa harus aku yang di belakang?" protes Ipan.

"Kau lupa alasan kita ada di sini untuk mengantar Mamat ke abahnya. Kalau Mamat sampai kenapa-napa, sia-sia kita sudah sejauh ni. Atau kau yang mau jalan di depan?" tawar Ali.

Jalan setapak terkepung padang ilalang tinggi, tidak memungkinkan bagi mereka untuk berjalan bersisian.

"Hhh ..., ya sudah!" Ipan menyisi, memberi jalan pada Mamat.

Plak! Kepala Mamat dikemplang.

"Awuh!" Mulut mungilnya mengaduh pelan.

Capat jalanmu, Mat!" bentak Ipan.

Sambil menutupi hidung dan mulut, mereka berjalan berjingkat, melewati bangkai anjing yang sudah dirubung ribuan lalat. Ali bersyukur jalan setapak masih bisa terlihat jelas, tampak mengarah pada sebuah bukit

Matahari kian meninggi, cuaca yang dingin telah berubah hangat. Semua mulai merasakan lelah. Cacing-cacing dalam perut pun sudah berdemo. Hidung Ali tiba-tiba mengendus. Indera penciumannya menangkap bau makanan yang dibakar.

"Bau singkong bakar. Kalian menciumnya juga?" Dia menoleh pada Mamat dan Ipan. Khawatir jika hidungnya berhalusinasi karena terlalu lapar.

"Hum." Ipan dan Mamat mengangguk setuju. Mereka pun membaui aroma singkong bakar.

Kedua tangan Ali menyibak rumpun ilalang di sampingnya. Mengikuti arah bau singkong bakar yang terbawa oleh embusan angin. Mamat dan Ipan membuntuti dari belakang. Beberapa ratus meter mereka menyibak ilalang, lalu menembus rimbun pepohonan, tampaklah sebuah kebun yang ditanami singkong dan jagung.

Kebun itu tak seberapa luas. Hanya berukuran lima puluh meter persegi. Tersembunyi di antara pohon-pohon yang mengelilingi. Tanaman jagung sudah memunculkan tongkol bunga. Tanaman singkong terlihat tumbuh subur. Semua tampak terawat dengan baik.

Di tengah kebun, berdiri sebuah pondok kecil yang terkesan dibuat asal-asalan, hanya berupa tiang-tiang diatapi daun kelapa. Kepulan asap membuat Ali yakin, jika mereka bertiga tidak salah arah.

SUSURWhere stories live. Discover now