Bayangan Mengintip

1.7K 313 0
                                    


Semesta seakan marah pada kehadiran tiga anak kampung di tempat itu. Teriakan petir serta sambaran kilat sambung menyambung, mengiringi langkah-langkah tertatih mereka di bawah rinai hujan.

Tubuh-tubuh basah kuyup itu enggan berhenti, walau sekedar untuk berteduh. Semua bertekad segera sampai ke tujuan, meski gempuran angin terus menampar-nampar.

Usai menyusur jalan, mereka menemukan jalan berlapis pecahan batu koral. Di depan sana sudah terlihat Drilling Rig yang berdiri menjulang di atas sumur minyak, menara tinggi yang terlihat oleh Ali sebelumnya. Beberapa alat berat terparkir dengan posisi asal-asalan di sekitarnya. Namun, tak terlihat aktifitas apa-apa. Mungkin karena cuaca sedang hujan, pikir ketiga bocah kampung.

Beberapa ratus meter dari situ ada bangunan lain berbentuk memanjang dengan deretan pintu dan jendela-jendela kaca. Sepertinya bangunan itulah tempat tinggal para pekerja tambang.

"Hahay, sampai juga kita akhirnya. Bentar lagi bisa numpang ngaso, numpang makan, numpang ngerokok, numpang ngutang, ngoahahaha ...." kelakar Ipan dengan napas ngos-ngosan.

"Selamat, Mat, kita sudah sampai di tempat kerja abahmu." Ali menepuk bahu kecil di sampingnya. Wajah sedikit meringis menahan perih. Patukan burung gagak tadi banyak membuat luka gores pada punggung tangan Ali.

Mamat mengangguk cepat. Meski tubuh sudah kedinginan dengan bibir yang membiru gemetar, senyumnya tampak sumringah. Mimpi bertemu abah akan menjadi nyata.

"Kayaknya Kita ada di bagian belakang. Musti jalan memutar, nyari pintu masuk." Ipan menunjuk jalan di samping bangunan.

Ali manggut-manggut. "Bangunannya besar sekali. Pasti ada banyak orang di dalam."

Setitik harapan mencuat dalam benak Ali, dia akan mendapat pekerjaan di tempat itu. Mencoba mengadu nasib. Barang kali suatu hari nanti, bisa bertepuk dada pada orang-orang yang selama ini selalu meremehkan dirinya. Terutama keluarga Uwak.

Kini mereka sudah berada di depan gerbang yang dibiarkan terbuka. Suasana tetap sepi. Tidak terlihat orang yang lalu-lalang layaknya sebuah tempat kerja. Pos sekuriti berbentuk kotak yang dibatasi dinding kaca, dalam kondisi kosong.

Melihat kepala Ipan meneleng, Mamat ikut meniru, memiringkan kepalanya. Keduanya berdiri bersisian seraya membaca tulisan pada sebuah flat berukuran besar yang terpasang miring, nyaris lepas dari tembok.

"Pe-te Ja-ya A-ba-di." Mulut Ipan mengeja pelan.

"PT Jaya Abadi, benar ... ini tempat kerja Abah ulun." Mata sipit si bocah di samping Ipan seketika berbinar.

"Syukurlah, Mat. Kita tak sedang salah alamat. Tapi, pada ke mana lah orang-orang di tempat ni?" Ali menggumam dengan kening saling bertaut heran, mata mencari-cari.

Beberapa mobil besar serta mobil truk milik kantor terparkir di sudut halaman. Rumput-rumput tumbuh liar menutupi sebagian lahan, yang sebelumnya berupa taman kecil. Tempat itu tampak tidak terawat.

Setengah berlari ketiganya melintasi halaman parkir, menuju bangunan bertuliskan 'Kantor'. Hujan masih setia membasahi bumi. Tiba di depan pintu teralis besi, mereka mengintip ke dalam. Tapi, yang tampak hanya selasar panjang nan lengang.

"Pada tidur semuakah orang-orang di dalam? Sementang hawanya dingin begini. Brrr ....," celetuk Ipan, sembari menggigil memeluk tubuh kurusnya.

Satu tangan Ali coba mendorong teralis besi itu.

Kriiieeet ....

Bunyi derit engsel besi yang sudah karatan.

"Tidak dikunci, Geng." Ali menoleh pada dua temannya, minta pendapat.

SUSURWhere stories live. Discover now