Salim Bada

1.5K 294 10
                                    

Dahan pepohonan dari arah datangnya suara tampak bergerak-gerak. Terdengar bunyi dedaunan, serta dahan pohon yang terinjak. Puluhan lelaki berpenampilan nyaris telanjang layaknya suku pedalaman, muncul dari sela pepohonan.

Langkah-langkah mereka sangat cepat, setengah berlari. Sebagian tampak berlompatan pada dahan pohon. Dua orang tampak berjalan memanggul hasil buruan, berupa menjangan pada punggungnya. Ada yang unik dari tubuh orang-orang itu, yaitu kaki yang berwarna merah.

"Punan Siau," gumam Ali, hampir tak terdengar. Dia dapat menebak siapa orang-orang yang baru datang  itu. Suku Punan Siau adalah suku tertua yang mendiami hutan pedalaman Borneo. Mereka terkenal pemalu, tetapi tidak menyukai orang asing.

"Punan Siau? Siapa mereka?" Ipan bergidik menyaksikan bola mata salah seorang yang nyalang mengamati sekeliling, sambil memegang sumpit.

"Mereka suku terasing berkaki merah. Sepertinya sedang berburu. Jangan sampai kita yang menjadi buruannya! Mereka kanibal," desis Ali lagi.

Mendengar itu Ipan merasakan tubuhnya mendadak dingin. Ternyata manusia kanibal benar-benar ada. Sial sekali, baru saja lepas dari manusia zombi, sekarang malah berjumpa serombongan kanibal. Semoga saja para Punan itu tidak mengetahui ada mereka di antara semak.

Warna merah pada kaki, membuat suku Punan Siau mudah dikenali oleh suku lain. Mereka sengaja mewarnai kakinya untuk menakut-nakuti musuh. Punan Siau tak akan suka bertemu orang asing. Jika ingin selamat, jangan pernah mereka melihatmu karena mereka tidak akan segan membunuh.

Tubuh Ali dan Ipan semakin beringsut masuk ke dalam semak, ketika seorang Punan turun, mendekati sungai yang ada di belakang pohon gayam. Dia kemudian memanggil teman-temannya yang lain untuk istirahat dan minum di sungai.

"Astaga! Mereka melihat bajuku yang dijemur." Ali menatap cemas dua potong pakaiannya.

Salah seorang Punan berusia muda, melihat pakaian Ali yang berada di atas batu. Manik mata nyalangnya kemudian menyapu sekeliling. Dia lalu memunguti baju Ali, memberitahu Punan yang lain. Mereka semua kemudian terlihat kasak-kusuk sambil memelototi kaos serta jeans buluk itu. Seakan baju Ali benda yang sangat menjijikkan.

"Waluh bejarang!" Ali mengumpat pelan. Bahkan suku terasing pun tahu kalau baju miliknya sudah buluk. Menyedihkan.

"Kau jago bekelahi, Li. Kenapa tak lawan saja mereka, seperti zombi-zombi tadi? Ambil kembali bajumu!" celetuk Ipan, setengah meledek.

"Buta kah kau? Jumlah mereka tak sebanding dengan kita. Sumpit punya mereka tu beracun. Sekali tiup kau langsung mati konyol."

"Hegkh!" Ipan memegangi lehernya. "Kau membuatku takut."

Tanpa disadari dua pemuda itu, dalam semak tempat mereka sembunyi sedang bersarang sekoloni semut Salimbada. Jenis semut besar dengan gigitan yang sangat kuat, setara gigitan lebah. Semut-semut itu tengah merayap pelan pada punggung kaki keduanya. Gerakan tiba-tiba akan merangsang gigitan luar biasa menyiksa.

Keringat dingin Ipan bercucuran, saat seorang Punan mengendus dan menyibak semak-semak dengan sebuah tumbak panjang. Tampaknya dia curiga ada manusia lain di tempat itu. Sementara Punan lain sibuk minum dan membasuh tubuh di sungai.

"Kalau tetangkap, kita bakal mati kah, Li? Jadi sate kah kita, Li?" Ipan mulai terisak membayangkan dia akan mati muda. Teringat wajah Mamaknya. Belum sempat Ipan membuat mamak bangga. Belum kesampaian pula cintanya pada Amah, si kembang desa.

"Ssstt! Diam kau!" bentak Ali.

Seorang Punan paling tua dari yang lain memanggil-manggil dari arah hutan. Mengajak kelompoknya untuk segera kembali. Punan yang sudah sangat dekat dengan rumpun semak persembunyian kemudian membalikkan badan, menyusul kawan-kawannya yang sudah bersiap pulang. Langkah mereka tampak semakin menjauh.

Ipan dan Ali mengembuskan napas lega. Ketegangan kini sudah berlalu. Kaki mereka sudah kesemutan akibat terlalu lama jongkok, dengan leher ditekuk. Namun, tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"SA-LIM-BADAAAAAA!!!" teriakan Ipan yang menggelegar bak petir, memecah keheningan hutan. Puluhan ekor semut salimbada kompak menggigiti kakinya. Kulit kaki Ipan terasa disulut oleh banyak bara api.

Kedua telapak tangan Ali sigap membekap mulut kawannya yang naif itu. Dia sendiri pun merasakan gigitan puluhan semut besar itu di jari-jari kaki. Tapi, yang dilakukan Ali percuma. Teriakan Ipan sudah terlanjur terdengar oleh para Punan berkaki merah. Beberapa moncong sumpit kini sudah mengarah ke arah mereka.

Zzaap! Zzaap!

Masing-masing pemuda itu mendapat hadiah sebuah jarum sumpit. Hanya butuh beberapa detik, pandangan keduanya seketika mengabur. Lalu terkulai lemas tak sadarkan diri.

Layaknya hewan buruan. Kaki serta tangan Ali dan Ipan diikat menggantung pada batang kayu, sebelum dibawa pergi para Punan itu. Anehnya, Dara tiba-tiba menghilang. Ipan dan Ali belum sempat menyadari, kalau gadis itu sudah tidak berada di antara mereka.

****

Api ungun menyala. Bunyinya gemeretak saat memakan ujung-ujung ranting kering. Cahayanya menerangi sekaligus menghangatkan seisi goa. Goa tempat tinggal kelompok Punan Siau berkaki merah. Suku mereka suka menyalakan api unggun dalam goa, agar tetap hangat dan nyaman untuk anak-anaknya.

Di sudut goa. Beberapa pasang mata lugu bekedip-kedip memperhatikan dua sosok tinggi kurus yang meringkuk dalam kondisi terikat. Bocah-bocah Punan Siau berwajah polos, duduk mengelilingi tubuh kedua pemuda itu tanpa mengucap sepatah kata. Mereka memang suku yang tak suka banyak bicara.

Tubuh Ali dan Ipan kaku, tak bergerak, akibat racun dari sumpit milik Punan Siau. Sudah seharian penuh mereka ada di dalam goa. Dari lubang telinga serta hidung keduanya tampak rembesan darah yang telah mengering. Sepertinya mereka tidak akan selamat.

Langit cerah di atas Perbukitan Meratus perlahan mulai temaram. Di depan goa, orang-orang dewasa Punan, lelaki dan wanita, sibuk mempersiapkan makan malam. Daging buruan berupa menjangan terpanggang di atas bara api yang menyala.

Mereka kemudian sigap berdiri, ketika melihat kedatangan seseorang dari kejauhan. Seorang laki-laki berbadan tinggi besar datang mendekat. Tubuhnya sarat akan bawaan. Di punggung memanggul seekor menjangan, sedang satu tangan menyeret bangkai seekor babi hutan gemuk berukuran besar. Lelaki itu pun berpenampilan sama dengan para Punan, hanya saja kakinya tidak berwarna merah. Dia adalah Adaw, anak lelaki dari Tambi Balau. Orang yang dihindari Ali dan Ipan.

Dari gestur yang terlihat akrab, tampaknya Adaw sudah mengenal baik suku Punan Siau. Dia kini sedang berhadapan dengan Kepala Suku Punan Siau. Lelaki tua bertubuh kurus, bermata sipit, dengan garis wajah tegas tanpa senyuman.

Bugk!

Tubuh menjangan gemuk pada bahunya dilempar Adaw ke atas tanah. Berdampingan dengan babi hutan yang juga dibawanya.

To be continued....

SUSUROpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz