Gadis di Dapur

1.6K 306 2
                                    

Desir angin terasa dingin, tetapi tubuh Ali malah bersimbahkan peluh. Bulir-bulir keringat sebiji jagung membasahi pelipisnya. Dingin kian merayap tatkala makhluk itu kian menghapus jarak. Bau busuk bangkai tercium. Suara dengkus napas serta cicitan panjangnya berhasil membuat seluruh bulu kuduk meremang.

Sial!

Benak Ali mengumpat diri sendiri yang seolah mati rasa. Tidak bisa berbuat apa-apa.

"Li, kau lagi ngeliatin apa, sih?" Tegur nyaring seseorang, dari depan pintu.

"Woy, Alimukdin!" panggil Ipan lebih nyaring menyebutkan nama lengkapnya. "Angin kencang, pintu kau biarkan terbuka. Dingin tauk," ucapnya lagi setengah mengomel.

Degh!

Spontan Ali menoleh, mendapati wajah sembab Ipan dengan rambut ikal awut-awutan, tengah menatap gusar dari depan pintu. Sambil menelan ludah, Ali  memutar pelan leher ke samping. Makhluk tadi sudah lenyap tak berbekas.

"Kau mau masuk atau tetap di luar? Hawanya dingin bangat. Pintunya mau kututup," ujar Ipan, dengan raut kesal.

****

Pagi.

Cuaca sudah jauh lebih hangat. Cahaya matahari sedang berlimpah. Tampak kesibukan di halaman mess. Tali jemuran membentang dari sudut ke sudut halaman. Semua terlihat sibuk menjemur pakaian masing-masing, yang kemarin basah terkena hujan.

"Kupikir kita barang seminggu dulu di sini, ngabisin persediaan makanannya. Sayang bangat makanan banyak ditinggal," ujar Ipan, mengibas-ngibas baju basahnya sebelum di gantung pada tali.

"Betah kau rupanya. Kita tak tahu masalah apa yang sudah terjadi di tempat ini, Pan. Firasatku ada sesuatu yang tak beres." Mata Ali menyipit menahan silau cahaya matahari.

"Tak beres apanya?" Bibir Ipan ikut mengerucut, saat memeras cuciannya.

"Kau tak merasa heran, kah? Kondisi tempat ini tak jauh beda dengan Desa Muara Bukit. Sama-sama tempat yang sengaja ditinggalkan penghuninya. Pasti ada alasan kenapa orang-orang sampai pergi. Lagi pula tujuan utama kita hanya mencari abah Mamat. Kita harus mencari jejaknya." Ali berasumsi.

"Mau cari ke mana lagi? Sudah jauh-jauh kita ke mari, taunya orang yang dicari tak ada."

"Nanti sambil kita pikir di perjalanan. Siang, pas baju-baju sudah pada kering, kita langsung berangkat dari sini," tegas Ali. Tidak ingin menceritakan tentang makhluk hitam bersayap yang dilihatnya tadi malam. Itu adalah salah satu alasan mereka harus segera pergi. Tempat itu menyimpan misteri menakutkan.

"Ya, sudah. Terserah kau sajalah." Ipan mengendikan bahu.

"Bajumu sudah kau jemur semua, Mat?" tegur Ali, melihat Mamat duduk jongkok di rerumputan.

"Sudah, Kak," sahut Mamat tanpa menoleh padanya. Bocah itu sedang asyik memerhatikan capung-capung kecil yang terbang menjelajah padang rumput. Tangannya berusaha menangkap salah satu serangga itu.

Ali melangkah menaiki undakan menuju selasar. Kembali ke kamar, berniat tidur lagi barang sebentar.

Klontang!

Bunyi benda jatuh dari dalam dapur.

"Kucing?" gumamnya, mengernyit. Melihat ke arah halaman, Ipan dan Mamat masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Berjingkat-jingkat Ali mendekat ke pintu dapur. Daun pintunya sedikit terbuka, seperti ada seseorang yang baru masuk ke dalam. Tanpa menimbulkan suara dia kemudian mengendap masuk.

Sebuah spatula tampak tergeletak di lantai dapur. Sepertinya benda itu yang barusan terjatuh. Mata Ali menyapu sekeliling. Kosong, tidak ada siapa-siapa. Tapi, dia tak percaya begitu saja. Lalu melangkah tanpa suara ke arah ruang makan yang berdampingan dengan dapur. Beberapa detik Ali berdiri diam, seraya menatap tajam ke satu titik.

"Keluar!" bentaknya, mengawasi sepasang kaki tersembunyi di bawah meja makan.

"Keluar atau kau kutarik paksa?!" ancam Ali lagi.

Pemilik kaki tak bergeming. Ali tak punya pilihan.

"Aaawh, lepaskan!" Orang itu berontak saat Ali menyeret keluar tubuhnya dari bawah meja.

"Kau?!" Seketika Ali terperangah begitu tahu dia seorang gadis. Gadis manis dengan tubuh semampai, rambut bergelombangnya diekor kuda.

"Siapa kau? Mau apa kau bersembunyi di situ?" tanya Ali, sambil terus mencengkram kedua pegelangan tangan si gadis.

"Argh, sakit! Lepaskan! Ini tempat tinggalku," ketusnya, mendelik.

"Kau tinggal di sini?" Ali melonggarkan cengkraman tangannya.

"Ya, ini tempat tinggalku!" lugasnya setengah berteriak, menarik kasar tangannya dari pegangan Ali. Kedua kakinya mundur, berusaha menjaga jarak.

"Lalu, kenapa kau sembunyi dari kami?"

"Kalian membuatku takut."

"Kenapa harus takut? Kami bukan orang jahat. Kami ke sini hanya untuk mencari orang tua teman kami. Maaf, kami kira tempat ini tak ada penghuninya. Aku dan teman-teman sudah lancang masuk tanpa permisi." Tubuh jangkung Ali sedikit merunduk, berusaha mensejajarkan mata mereka, meski si gadis tak mau balas menatapnya.

"Aku tidak bisa percaya begitu saja apa katamu. Apa buktinya kalau kau memang bukan orang jahat?" Mata gadis menyipit sinis.

Ali menggendikkan bahu. "Menurutmu aku harus bagaimana, biar kau percaya?"

Si gadis mendengkus. "Entahlah. Hidup di tempat terasing seperti ini, aku harus waspada pada siapa pun."

"Maaf kalau sudah membuatmu takut. Namaku Ali, boleh tahu siapa namamu?" Ali menyodorkan tangan kanannya, mengajak bersalaman. Gadis itu diam tak bergeming.

"Siapa perempuan itu, Li?" Ipan tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dengan mereka. Mulutnya membulat heran menatap gadis cantik di depan Ali, begitu pun Mamat. Suara ribut-ribut dari dalam dapur, membuat keduanya ingin melihat apa yang sedang terjadi.

****

Siang, di meja makan.

Dara selesai memasak. Ali, Ipan dan Mamat sudah duduk manis mengelilingi meja. Dara akhirnya melunak pada tiga tamu tak diundang itu.

"Aku tak punya pilihan, selain tetap bertahan di tempat ini. Tidak ada tempat pulang untukku." Dara menghela napas. Ada gurat kesedihan pada wajah lembutnya.

Tangan langsing itu tampak cekatan menyendok makanan dari panci ke dalam mangkok-mangkok. Sup kacang merah, nasi dan kornet sapi sudah siap disantap. Aroma sedap masakan menguar. Ipan menelan ludah ingin segera mencicipi.

"Silahkan! Maaf, hanya bisa menyuguhkan ini. Semua serba makanan kaleng." Mangkok berisi sup dibagi Dara ke depan meja masing-masing.

"Hmm, ini enak sekali, Ra. Makasih sudah masak buat kita, jadinya ngerepotin," cetus Ali, seraya mencicipi sup kacang merahnya.

"Hum, sama-sama. Kalau sedang bosan makanan kaleng, kadang aku nekat berburu ke hutan, menembak burung." Kini senyum gadis itu terlihat lebih tulus.

"Berburu burung? Wah, hebat kau, Ra," puji Ipan terkagum-kagum.

"Iya." Gadis itu mengangguk. "Manusia kalau sudah terjepit mau tak mau apa pun dilakukan. Hal yang yang sebelumnya tak bisa menjadi bisa. Cepat atau lambat persediaan makanan di gudang pasti akan habis, aku harus belajar mencari makanan di luar," terangnya, menyelipkan anak rambut pada telinga.

"Tapi, satu hal yang harus dihindari di tempat ini. Jangan sampai kau bertemu Tambi Balau," lanjutnya lagi.

"Tambi Balau? Siapa dia?" tanya Ali, menghentikan suapan.

To be continued....

SUSURWhere stories live. Discover now