Kampung Mati

1.8K 302 4
                                    

Ipan menjerit sembari menunjuk-nunjuk jendela. Tapi, tak juga dia beranjak dari situ. Saking takutnya kedua lutut Ipan terasa lemas, gemetaran.

Satu tengkorak manusia terlihat di jendela yang terbuka. Sangat mengerikan. Sedikit rambut putih masih menempel pada sebagian kepalanya. Dari mulut tengkorak terlihat lelehan cairan berwarna kemerahan. Teriakan keras Ipan, mengundang Ali dan Mamat gegas berlarian mendekat.

"Tengkorak apa, Pan?" tanya Ali kebingungan.

"Tengkorak manusia seram bangat. Itu lihat mulutnya berdarah-darah, bhuhuhu ...," ucapnya setengah terisak, menunjuk lurus ke depan.

"Cuihh! Cuiiihh!"

Makhluk yang dipikir Ipan sebagai tengkorak tiba-tiba meludahkan cairan merah ke muka Ipan, yang kontan mengerucut. Diseka dan ditatapnya ngeri telapak tangan yang belepotan cairan merah berbau aneh.

"Huwaaah ...! Daraaah! Daraaah! Tengkoraknya bisa meludaaah ...!" Lagi-lagi Ipan memekik-mekik heboh.

Satu wajah lain muncul dalam jendela. Kali ini sesosok kakek-kakek dengan tubuh tak kalah kurus kering, layaknya tulang dibalut selembar kulit. Sepasang bola matanya yang cekung nyaris tenggelam, serupa tengkorak.

"Pergi! Pergi! Jangan ganggu kami," ucap serak lelaki tua itu.

"Bungulnya si Ipan. Ini kaik-kaik sama ninik-ninik, bukan tengkorak," desis Ali. Ditarik gemas rambut ikal milik kawannya.

Ipan menelan ludah cekat, memasang tampang polos.
"Ta-tapi, kenapa mulut niniknya tuh sampai bedarah-darah begitu?" gumamnya, mengamati mulut ompong keriput si nenek yang memerah mengunyah-ngunyah sesuatu.

"Cuihh! Cuihh!" Kembali dia meludah ke arah Ipan. Kesal sekali tampaknya sudah dikatai tengkorak.

Brakk!

Daun jendela ditutup dengan keras.

Pletak!

Ali tak mampu menahan buku jarinya agar tak melayang ke kepala orang di samping.

"Aduh!" Ipan mengaduh kesakitan, mengusap bekas jitakan.

"Dasar Aluh Bohay! Kau tak pernah kah liat ninik-ninik menginang? Macam bukan orang kampung saja kau ni, Pan."

Ali semakin geram pada kawannya. Hampir saja jantung tadi copot gara-gara teriakan Ipan. Ingin rasanya mengajak duel saat itu juga. Tapi, situasi sedang tidak memungkinkan.

"Kaik, Ninik, maafkan kawan ulun! Bolehkah kita bicara barang sebentar? Tolong bukakan kami pintu!" lirih Ali, mengetuk-ngetuk pelan jendela yang sudah tertutup.

Tidak ada sahutan. Sepi. Ditunggu-tunggu pintunya pun tak juga terbuka. Ali menghela napas kecewa. Ipan meringis bersalah.

"Kacau semua gara-gara kau, nih. Bikin orang tesinggung saja kau!" Rambut ikal Ipan kembali jadi sasaran kekesalan Ali.

"Arkh, sakit!" Ipan berontak, balas memukul Ali.

Sepertinya penghuni rumah yang ditemui tidak mau berinteraksi dengan orang asing. Mereka bertiga terpaksa menjauh dari rumah itu. Melanjutkan langkah, menyusuri jalan setapak desa yang berbatu, berharap akan bertemu orang lagi.

"Kampung ni macam kampung mati. Kayaknya sudah lama ditinggalkan orang," celetuk Ipan, sambil terus berjalan.

"Hum ...." Ali menggumam. "Jangan-jangan penghuninya cuma Kaik sama Ninik tadi. Gara-gara kau bikin ulah, kita tak bisa numpang istirahat di rumah mereka."

"Iya, iya. Aku salah terus." Bola mata Ipan berotasi.

Ali mendengkus.

Bangunan-bangunan kayu yang mereka lewati tampak kumuh tak terawat. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. Kondisi rumah ada yang sudah miring, nyaris roboh. Dinding-dinding papan terlihat lapuk. Teras kotor oleh debu, pecahan kayu, daun kering, serta sampah lainnya.

SUSURWhere stories live. Discover now