Rajia Polisi

2.6K 361 12
                                    

"Jadikah kita berangkat mencari abah ulun, Kak?" tanya Mamat lagi.

Merasa tak digubris, Mamat turun dari pelataran pondok, lalu melangkah perlahan mendekati orang yang dikiranya sebagai Ipan. Namun, bayangan hitam itu seakan terus menjauh.

Pukk!

Satu tepukan pada bahu, membuat Mamat tersentak kaget.

"Mat, mau ke mana kau?" Ipan sudah berdiri di sampingnya.

"Kak Ipan?" gumam Mamat bingung. Mendongak, ditelusurinya wajah pemuda berpostur jangkung itu. Semua terlihat samar dalam kegelapan.

"Hum, ini aku. Kenapa muka kau, kayak orang baru liat hantu saja?" Ipan menyentil dahinya.

Bocah itu lalu menoleh lagi ke arah rumpun pisang. Bayangan orang, yang tadi berdiri di sana sudah tidak ada. Ternyata dia bukan Ipan, entah siapa.

"Adakah kau bawa sangu, Mat?" tanya Ipan, dengan raut penuh harap.

Pemuda berambut ikal sebahu itu menghela napas lega, ketika bocah di depannya mengangguk cepat. Tas punggung dilepaskan Mamat dari bahu, kemudian mengeluarkan sesuatu. Sebuah botol plastik berisi air putih yang tersisa separuh, disodorkan pada Ipan.

"Bungul, lain itu maksud unda!" Spontan Ipan menoyor gemas kepala si bocah.

"Duit maksudku. Adakah kau bawa duit?" Ipan mendelik, tubuhnya sedikit membungkuk. Digesek-gesek jari jempol dan telunjuk tangan kanan ke depan hidung Mamat.

Tas punggung biru lusuh berbahan parasut dibuka lagi oleh Mamat. Sekarang sebuah celengan dari tanah liat keluar dari sana. Ipan tersenyum kecut, menebak-nebak dalam hati isi benda berbentuk bulat itu. Paling cuma recehan, batinnya.

Prakk!

Beberapa detik kemudian, celengan sudah terhempas ke atas tanah hingga pecah berkeping. Uang koin serta uang kertas seribuan yang sudah lecek berserakan. Gegas keduanya memunguti.

****

Si pemuda begajulan kini sudah membawa serta bocah lugu, duduk di antara lelaki dewasa pendosa. Mamat menatap sekeliling mereka. Tidak menyangka, ternyata begitu banyak orang dalam kebun singkong yang terpencil itu. Suasana berisik dengan suara orang, juga suara ayam.

"Coba kau lihat dua ekor ayam jago itu, Mat! Kau lebih pilih yang mana? Yang kiri atau yang kanan?" tanya Ipan.
Satu tangannya merangkul bahu si bocah. Satu tangan lain menunjuk ke arah dua ekor ayam jantan, yang sedang dipamerkan di tengah arena judi.

Ipan sudah membuktikan kalau hokinya buruk malam ini. Dia sekarang sangat berharap pada keberuntungan Mamat. Siapa tahu, kalau bocah itu yang menentukan pilihan, dia bakal menang taruhan.

"Buat apa milih ayam? Mau dimasak kah, Kak?" tanya Mamat polos, menekan perut tipis yang kosong. Mulutnya mengecap, membayangkan sepiring nasi berteman ayam bakar.

"Buat disaung. Kalau ayamnya menang besaung, kita bakal dapat duit banyak buat beli makanan," terang Ipan, tersenyum culas. Sepasang keningnya naik turun, menatap Mamat.

Penampilan ayam-ayam jantan itu cukup menipu mata. Bertubuh besar, berdada busung, belum tentu akan menang dari ayam jantan yang bertubuh lebih kecil. Ipan sudah beberapa kali terkecoh. Pilihannya selalu salah.

Mamat mendesah kecewa. Tak paham kenapa ayam harus disuruh berkelahi, bukannya dimasak menjadi lauk makan. Bocah lelaki itu diam sejenak, kedua netra menatap lesu pada ayam-ayam yang sedang dipegang masing-masing pemiliknya.

Mata Mamat lalu berpindah pada laki-laki tua berpeci miring, yang duduk bersandar pada bangku plastik, tampak sibuk sekali menerima setoran uang dari yang lain, sambil menulis ke buku kecil. Sesekali dia saling berbisik dengan lelaki berbadan kekar di sampingnya.

SUSURWhere stories live. Discover now