Bukan Pendusta

4.1K 489 7
                                    

Di satu sudut perkampungan suku Banjar

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Di satu sudut perkampungan suku Banjar.

Semburat emas menelisik cabang-cabang pohon. Bocah lelaki duduk di pelataran rumah mungil. Kedua tangannya tergesa membuat simpul tali sepatu. Sesekali memutar leher ke pintu yang terbuka. Jam dinding usang sudah menunjuk pukul tujuh.

"Sudah sarapan kah, Tung?" celetuk perempuan tua, yang sejak tadi berdiri di halaman rumah, sibuk menyusun kepingan krupuk dalam nyiru bambu.

"Sudah, Nik, ay," sahut bocah bernama Mamat itu. Dia kemudian menuruni undakan, sembari membenahi letak tas punggung. Siap untuk berangkat.

Seragam cokelat tampak kebesaran pada tubuh kecil Mamat. Sabuk hitam terpasang kencang, membuat kerutan di bagian pinggang. Rambut yang kelimis sudah tertutup baret cokelat tua, serta slayer merah putih melilit lehernya. Mamat merasa gagah setiap memakai seragam pramuka.

"Habis pramuka, langsung pulang! Jangan kau keluyuran bemain!" pesan Ninik Rahma.

Perempuan tua itu sejenak menghentikan kegiatan. Tangannya menata ulang cepolan rambut tipis yang memutih, lalu menyapukan pada jarik lusuh.

"Nih, buat jajanmu." Selembar uang kertas seribuan diulurkan.

"Makasih, Nik." Bibir mungil Mamat tersenyum manis. Diraih dan dicium takzim punggung tangan keriput itu. "Assalamu' alaikum, Mamat berangkat."

"Wa' alaikum salam. Tak usah kau lari!" teriak Ninik.

Terlambat. Tubuh mungil berseragam cokelat itu sudah melesat cepat keluar dari halaman rumah. Punggung yang menyandang tas ransel seketika menghilang ke balik pagar tanaman. Ninik Rahma hanya bisa menggelengkan kepala.

Kalau masih bisa berlari, kenapa harus berjalan?

Mamat heran pada Ninik yang kerap melarangnya berlari. Padahal, berlari sangat menyenangkan.

Namanya Muhammad Insan. Orang-orang lebih suka memanggilnya Mamat. Tubuh bocah lelaki yang baru menginjak enam tahun itu semakin menjauh dari rumah mungil mereka.

Rumah kayu berbentuk panggung yang terlihat mulai keropos dimakan usia. Jendela kayu tanpa kaca tampak tidak lagi simetris. Pada beberapa sudut dinding telah disulam dengan kardus bekas untuk menggantikan papan yang telah lapuk. Siang hari Mamat seolah melihat banyak bintang bertaburan pada langit-langit rumah. Jika hujan turun lebat nenek dan cucunya itu akan sibuk menggeser ember, panci atau apapun untuk menampung air yang menerobos masuk.

Sekeliling halaman rumah ditumbuhi bunga kaca piring putih. Daun serta tangkainya rutin dipangkas sehingga terlihat rapi layaknya pagar tinggi. Setiap angin berembus, maka aroma wangi bunga akan menyebar. Di atas tanaman itulah biasa Ninik menjemur nyiru-nyiru kerupuk singkong buatannya.

Kaki kurus Mamat terus berlari menapaki tanah merah berlapis kerikil. Jalanan tampak basah dihiasi kubangan. Kanan dan kiri jalan diapit parit tergenang air yang bermuara ke anak sungai. Tepiannya ditumbuhi semak belukar tebal. Pohon-pohon tua memayungi sepanjang jalan. Batangnya besar, cabangnya menjuntai hingga ke tanah.

SUSURDonde viven las historias. Descúbrelo ahora