Ranjau Paku

2K 340 11
                                    

Ali menggeleng lesu. Dikeluarkan sebuah benda persegi dari sakunya. Sebuah handphone keluaran lama, yang tidak bernilai jual tinggi. Namun, tinggal itu harta satu-satunya, yang dia miliki.

Setelah dipikir dan ditimbang, Ali tertarik untuk ikut Ipan, mengantar Mamat ke tempat abahnya. Siapa tahu di sana nanti, dia bisa dapat kerjaan. Jadi kuli tambang pun jadi, pikir Ali. Yang penting tidak ada lagi orang, yang merasa direpotkan olehnya.

"Kira-kira, laku berapa duit kalau ini dijual?" Ali memperlihatkan handphone lusuh itu pada Ipan.

"Humm ...." Ipan berpikir, sembari mengkerutkan bibir tebal kehitaman, yang terpapar nikotin.

Handphone milik Ali kalau dijual paling-paling cukup buat makan bertiga sampai nanti malam. Tidak akan cukup untuk ongkos jalan sampai ke tujuan, pikir Ipan.

Sebuah motor jenis matic berhenti tak jauh dari depan halte. Seorang lelaki bertubuh tambun turun dari motor. Wajahnya tampak meringis, seperti sedang menahan sesuatu.

"Mau ke mana, Mang?" sapa Ipan, yang sedang bersandar pada tiang halte.

"Mau ke tempat mancing, tapi perut tiba-tiba mules," ujarnya, sembari memegangi perut. Mata memindai sekeliling.

"Oh, di belakang ada kali, Mang." Ipan menunjuk ke arah kali kecil yang terlindung pepohonan dan semak.

Tanpa banyak bicara, si lelaki berbadan tambun segera melipir masuk ke balik semak belukar yang ada di belakang halte. Tak lupa membawa serta sebuah tas besar dan alat pancing miliknya. Ekor mata Ipan terus membuntuti gerak-gerik orang itu.

.

.

"Makan yang banyak, Mat!" Ipan menaruh beberapa bungkus pundut pisang di samping bangku Mamat.

"Li! Woy, Ali!" ujar Ipan lagi, lebih keras. Dilambaikan tangannya pada Ali yang duduk agak jauh dari mereka, di bawah rimbun pohon kersen.

"Apa?!" sahut Ali dengan raut malas.

"Lekas ke mari! Makan!" Ipan membuat gerakan tangan, seperti sedang menyuap makanan ke mulut.

"Ada makanan kah?" Raut malas Ali seketika berubah sumringah.

"Ada."

"Serius kau?" Gegas Ali mendekat. Matanya melebar melihat ke atas bangku besi, samping Mamat. Tergeletak beberapa bungkus pundut pisang. Mamat tampak sudah asyik melahap sebungkus pundut.

"Makanan dari mana ini, Pan?" tanya Ali terheran-heran.

"Tak usah banyak tanya! Makanlah kalian berdua! Aku mau buang air kecil dulu," ujar Ipan.

Tanpa menjawab pertanyaan Ali, dia berlari kecil ke belakang halte. Memilih tempat yang agak terlindung dari kedua temannya.

Bola mata Ipan berbinar-binar. Benar dugaannya, bahwa bungkusan yang satu itu berisi nasi. Nasi padang komplit, lauk daging rendang.

"Hahay! Gurih banar, lagi lapar begini dapat rejeki." Lelaki muda itu terkikik senang, mengatur posisi duduknya, agar bisa makan dengan nyaman.

Sengaja Ipan duduk menyepi di balik semak-semak, menghadap sebuah kali kecil. Dia ingin puas menikmati sendiri makanannya, tanpa harus berbagi dengan Ali. Pasti Ali bakal minta bagian kalau saja dia tahu. Cukup pundut pisang saja, untuk dua temannya itu.

Semua makanan didapatkan Ipan berkat kecekatan tangan. Dia mengambilnya dari dalam tas bekal lelaki gemuk yang singgah ke halte, tanpa setahu pemiliknya.

'Salah sendiri pelit, makanan banyak tak dibagi-bagi. Dasar rakus! Pantas saja badannya kayak Babon. Tak melihatkah dia muka lapar kita?' Ipan menggumam.

Plukk!

Saat merobah posisi duduk, lauk daging rendang tiba-tiba menggelinding jatuh ke kali. Tersisa nasi serta daun singkong dalam bungkusan. Bibir tebal Ipan sontak mewek, menangis tanpa suara. Gagal sudah dia makan enak.

****

Matahari kian bergulir ke arah Barat. Warna langit kian meredup.

"Pindah agak ke tengah!" titah Ipan. Satu tangannya mengibas-ngibas memberi kode pada Mamat, yang sedang menatapnya dari tengah jalan.

Jalanan aspal itu tampak lengang. Hanya satu, dua mobil yang kadang melintas dengan kecepatan tinggi. Ipan sudah bosan duduk di halte. Harus ada usaha yang lebih keras agar mereka segera mendapat tumpangan.

Dia tiba-tiba mendapat Ide, ketika menemukan sebuah paku di antara semak. Paku itu kemudian ditancapkan pada sekeping papan kecil. Dan sekarang, Mamatlah yang disuruhnya memasang ke tengah jalan, dengan posisi mata paku menghadap ke atas.

Dari atas dahan pohon akasia, Ali mengulum senyum, melihat kelakuan konyol kawannya. Sedari tadi dia mengawasi tingkah laku Ipan.

"Lekas ke pinggir! Lari, Mat!" teriak Ipan, saat melihat sebuah mobil muncul dari persimpangan jalan.

Mamat dengan patuhnya berlari kembali ke samping Ipan.

Nguuung ....

Mobil itu lewat dengan sukses di depan mereka. Jebakan paku yang dibuat lagi-lagi meleset, tidak mengenai sasaran.

"Hhh ... lepas lagi," gerutu Ipan kesal.

Sudah berkali-kali dia menyuruh Mamat memindah-mindah jebakan paku. Tapi, selalu saja gagal. Tampaknya, Ipan harus turun tangan sendiri memasang jebakan.

"Payah kau, Mat! Tak bebakat kau jadi berandal," omel Ipan pada Mamat.

Ali terpingkal-pingkal melihat Ipan sibuk mengatur letak jebakan pakunya. Mulut Ipan tampak komat- kamit sambil sesekali meniupi paku, sebelum kemudian meletakkannya ke jalan. Entah mantra apa yang telah Ipan berikan. Lagaknya sudah seperti Master Limbod sebelum melakukan atraksi berbahaya.

Satu mobil lagi muncul dari arah belokan. Mobil box milik sebuah expedisi. Ipan dan Mamat duduk jongkok di sisi jalan, seraya terus mengawasi tanpa berkedip.

Phsstt ... chiiizzztt ... chiiizzztt ....

Bunyi berdecit ban mobil yang sudah terkena ranjau paku.

Mobil kemudian mendadak oleng. Agaknya jebakan yang dibuat Ipan berhasil. Jalan mobil seketika terseok kehilangan keseimbangan. Ipan dan Ali menahan napas tegang, sedangkan Mamat masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

Mobil box yang penuh muatan itu terus meluncur keluar dari ruas jalan. Tampaknya pengemudi tak mampu lagi mengendalikan mobilnya.

JEDUAAARR!!

BUUUMM!!

Terdengar bunyi-bunyi yang sangat keras.

Mobil tiba-tiba jatuh terguling ke kali yang ada di bawah jalanan. Asap tampak mengepul dari kap mobilnya.

"Cilaka dua belas!" pekik Ipan tertahan, menelan ludah gugup.

"Lari yang cepat, Mat! Lariii!" teriak Ipan yang merasa bersalah. Dia sendiri lebih dahulu mengambil langkah seribu.

Meski bingung, Mamat tetap membuntutinya, ikut berlari-lari di belakang Ipan. Begitu juga Ali yang cepat membaca situasi. Gegas dia menuruni pohon, lalu memacu kedua tungkai sekuat tenaga.

Ipan sudah cari penyakit. Dia tak menyangka jika kejadiannya sampai sebegitu parah. Espektasi Ipan, jebakan pakunya hanya akan membuat gembos ban mobil. Mobil berhenti, lalu pemiliknya mengganti dengan ban cadangan. Kesempatan itu yang akan dia gunakan untuk menawarkan jasa, imbalannya mereka boleh menumpang mobil gratis.

Tidak disangka, mobil korbannya malah terbalik. Entah bagaimana kondisi orang dalam mobil. Ipan tak mau menebak-nebak. Lebih aman kabur secepatnya, sebelum berurusan lagi dengan polisi.


Catatan kaki :

Pundut pisang = jajanan pasar berbahan dasar tepung beras dan pisang yang dibungkus daun pisang, dimasak dengan cara dikukus.


SUSURWhere stories live. Discover now